Archive | Agustus 2013

Sinetron; Mencatat Keganjilan dalam Candu yang Menghibur

Kotak ajaib bernama televisi memang menghadirkan ragam hiburan. Salah satunya adalah sinetron. Sinetron menawarkan alur cerita dengan segala kelengkapan pernak-pernik layaknya kehidupan sosial pada umumnya. Realitas sinetron yang penuh “keganjilan” serasa menghipnotis penonton dan justru hal seperti inilah yang memberikan titik tekan pada keaktifan penonton dalam “greget” berseloroh.

Moralitas maupun logika bercerita menjadi hal yang tidak lagi penting, mengingat televisi lebih berorientasi pada kapital ekonomi, bagaimana produksi secara finansial begitu diperhitungkan. Kontestasi “peran” antara si protagonist dan antagonis dihadirkan bukan sekadar untuk menambah kualitas cerita namun cenderung mendongkrak rating. Maka, repetisi alur yang sejenis yang mudah ditebak kerap (di) muncul (kan). Penonton menunggu “greng” yang sama, mereka menunggu tebakannya tepat, menunggu apa yang dibayangkan dalam benak hadir dalam layar kaca.  

Sebagai anak kandung teknologi, televisi melahirkan sinetron memiliki peran sebagai agen yang  memproduksi kebudayaan, karena didalamnya muncul berbagai macam budaya-budaya baru yang dihadirkan melalui jaring-jaring sinetron. Penawaran gaya hidup, model-model perlawanan, model bertahan dalam konflik serta merta dihadirkan. Sayangnya, penawaran tersebut justru melahirkan keganjilan dalam tata cara berkehidupan sinetron. Keganjilan-keganjilan yang secara sadar justru “di-iyakan” dan menjadi sisi kemenarikan bagi para penonton. Mereka berseloroh sambil menebak alur cerita, dan jika benar mereka bersorak, dan jika tebakan salah juga bersorak.  “seni” main tebak-tebakan alur menjadi semacam “penghiburan” yang dilahirkan dari dan untuk diri si penonton.

Penceritaan konflik yang terlalu jauh dari nalar seolah menjadi daya tarik untuk memancing komentar penonton, sehingga memunculkan hentakan emosi. Di sisi lain, mungkin saja sinetron dalam konstruksinya menawarkan standarisasi hidup yang harmonis, mewah, sederhana, dan mencotohkan sosok-sosok jahat yang harus di hindari. Sinetron membangun ideologinya lewat model penceritaan yang diciptakan, semua itu merupakan bagian dari cara media televisi mengkonstruksi realitas pada penonton. Dinamika pasar telah membuat televisi berorientasi pada etika konsumsi dengan memprogram acara yang sepenuhnya untuk memenuhi selera pasar. Kondisi sosiokultural turut membentuk selera masyarakat. Selera yang melodramatis dan statis menjadi kesukaan penonton kita. Kondisi semacam ini tidak terlepas dari faktor situasional dimana penonton hidup, permasalahan yang penonton hadapi memiliki kecenderungan untuk korelasi dengan alur yang mereka saksikan.

Harrinton dan Belby (1995) pernah mengutarakan, bahwa ketertarikan terhadap sinetron atau opera sabun dapat dijelaskan sebagian dengan reproduksi bentuk, substansi, dan irama virtual mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit sinetron yang berusaha untuk mengangkat realitas kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga menjadikan sinetron menarik untuk ditonton, karena masyarakat sudah lebih dahulu mengenal realitas yang sesungguhnya.  Sinetron memiliki kemampuan untuk meniru kelangsungan hidup, untuk muncul nyata. Inilah yang Geraghty  sebut sebagai gagasan realisme sebagai gambaran yang masuk akal pengalaman sehari-hari.

Sinetron menjadi semacam mediator dalam pembentukan masyarakat yang acap kali bermimpi serta gambaran akan budaya konsumtif. Kehadiran sinetron di televisi dapat memberikan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari. Maka, tidak usah terlalu heran jika melihat anak muda yang berpenampilan atau berperilaku ala sinetron, atau ibu-ibu yang berbelanja bercerita dan berkeluh kesah dengan ibu-ibu yang lain mengeluhkan kehidupannya kurang ini, kurang itu, dan virus kehidupan standar sinetronpun mulai hadir dalam realitas yang sebenarnya.                                       

Dalam sebuah sinetron, keganjilan-keganjilan adegan sudah menjadi pewajaran, sebagai penonton yang cerdas, maka di tuntut untuk meletakan kaca mata yang pas kalau tidak mau terjebak pada dunia yang khayal nan ganjil. Dapat dikatakan bahwa sinetron dalam hal penceritaan ataupun pencitraan telah memasuki ranah “banal”. Banalitas dalam sinetron telah menciptakan ruang-ruang media yang dipenuhi oleh berbagai fetishism bintang, tubuh, obyek, kekerasan dan mistik, yang motif utamanya adalah menciptakan kepuasan (jouissance) demi keuntungan, bukan pendidikan publik. Berbagai acara tontonan sinetron, kuis, reality show dan mistis menyedot habis-habisan kesadaran massa, yang digiring ke alam histeria, keterpesonaan dan kecanduan, sehingga tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi (Yasraf, 2007)                                                           

Penonton, dalam kultusisasi terhadap tayangan sinetron, termasuk kepada si artis membuatnya terserap ke dalam berbagai dunia yang serba ganjil dan dangkal yang bersifat permukaan, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Penonton dalam memahami makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah langsung diterima begitu saja. Penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif, namun keganjilan yang mereka konsumsi sudah menjadi seperti candu, sudah menjadi rutinitas, maka realitas-realitaspun terbangun melalui standard sinetron. Lalu, apakah proses “berpolitik” kita juga berstandar sinetron?penuh keganjilan? Dan kita yang meniru sinetron atau sinetron yang meniru kita?