Archive | Oktober 2013

Untuk dua orang teman: Yogi dan juga Abi

Untuk dua orang teman: Yogi dan juga Abi

Adalah sebuah tentang. Tentang kalian, tentang cerita, dan tentang apa yang kita sebut sebagai perjuangan. Lebih dari satu dasarwarsa aku mengenal kalian, di penghujung pekan ini kalian akan “membaiat” diri kalian sebagai seorang imam. Orang bilang melepas masa lajang. Tak ada yang lebih sentimentil kecuali riuhnya cerita yang menarik erat urat-urat syaraf hingga ke titik dimana kita bisa tertawa lepas.

Yog, akhirnya pencarianmu usai sudah. Sudah kau temukan apa yang kau sebut sebagai “garwa” sigarane nyawa. Begitu pula denganmu Bi. Berpeluh-peluh kau bercerita apa itu yang dinamakan cinta, apa itu gelisah dan apa itu romansa. Kini, setelah sekian tahun, akhirnya kamu menemukan apa yang disebut sebagai “hidup”, hidup adalah menyoal bagaimana kita berbagi, berbagi rasa dan berbagi cita juga cinta, bersama pasangan yang telah kau pilih.

Kalian berdua dan juga kita adalah bagian dari sisi intrinsik yang akan selalu terbangun sampai kapanpun. Senja kali ini adalah senja terakhir yang bisa kalian saksikan sebagai seorang lelaki penyendiri. Karena esok, kalian harus mulai berbagi senja bersama pasangan kalian. Di sana kalian bisa menghias senja dengan apapun yang kalian inginkan. Karena cinta adalah bumbu terbaik dalam melukis senja. Yog, Bi, selamat menempuh hidup baru buat kalian, berkah lahir batin, dan menjadi keluarga yang istimewa. Tak usah kalian merasa risih ketika mata kalian terbuka di keesokan pagi, dan tak usahlah kalian merasa kaget ketika esok pagi kau temui seorang perempuan menyiapkan sarapan untukmu. Ini senja yang indah, senja yang akan berganti fajar yang mengagumkan untuk kalian. Selamat #eeeaaaa

Fotografi dan Cyber Culture hingga Cyber Orgasm dalam Desa global

Fotografi telah meletakan dirinya pada salah satu bagian budaya populer. Di berbagai cabang, ia hadir sebagai wujud eksistensi politis dan juga etis. Sejak awal masuknya fotografi ke nusantara ia sudah “menjelma” menjadi isyarat akan dokumentasi “politis”.

Jauh sebelum fotografi begitu masif dengan ragamnya, sekitar tahun 1841 fotografi sudah masuk ke nusantara dan dibawa oleh seoarang pegawai kesehatan Belanda bernama Jurrian Munich. Ia mendapat “mandat” dari Kementerian Kolonial untuk mengabadikan tanaman serta kondisi alam nusantara, hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi secara visual tentang situasi alam Indonesia. Saat itu ia “bersenjatakan” Dauguerreotype, kamera terbaru yang sudah tergolong canggih pada waktu itu. Kamera menjadi bagian teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Artinya, kamera menjalankan fungsinya sebagai keberadaan kelas dan juga “alat kuasa”. Jika pada awal kedatanganya kamera hadir sebagai simbol kuasa sosial, maka begitu pula pada saat ini. Bedanya, sekarang simbol kuasa sosial tersebut merujuk pada sarana eksistensi diri dan pengakuan secara sosial bahwa diri subjek (pemilik kamera) patut untuk mendapat sematan sebagai “fotografer”.

Fotografi, fotografer, dan galeri memiliki keterikatan secara emosional untuk mendapatkan predikat “kehormatan”. Mengingat, dalam dunianya, fotografi adalah modal sosial. Dalam artian ia modal dalam menjalankan roda sosial dari para agen-agen kapital (budaya, simbolik, sosial, ekonomi). Galeri foto yang pada awalnya berbentuk sebidang ruang dengan dinding penuh dengan figura foto yang bisa disaksikan secara “terbatas”. Kini era ruang “cyber” telah memberikan penawaran baru. Ukuran “kehormatan” seorang fotografer tidak lagi terpaku pada keberadaan foto pada sebuah galeri tertentu (lagi). Cyber space pelan-pelan telah memupuskannya. Sejalan dengan itu, cyber space membidani melahirkan cyber culture. Cyber culture memberikan modal virtual kepada para “jamaah”nya. Modal virtual menjadi semacam modal sosial dalam dunia riil, keduanya dapat saling melengkapi. Seseorang yang memiliki modal sosial ketika memasuki ruang virtual, maka modal virtual pun akan tumbuh sejalan, begitu pula sebaliknya. Dengan catatan data-data digital yang ia tampilkan memiliki kebenaran yang dapat dirujuk pada data riil.

Cyberculture adalah sebuah fenomena baru. Seperti yang diungkapkan oleh Mark Soluka (2000) bahwa cyberculture menawarkan “kesadaran pascaruang”, di mana seluruh aktivitas kebudayaannya dilakukan dalam dunia maya yang tanpa batas. Jika mengacu pada penanggalan, maka tahun 1980 menjadi awal perkenalan cyberspace. Lalu, pada tahun yang sama cyberculture turut muncul ke permukaan, namun baru mulai terasa fenomenal dan ramai dibicarakan setelah Sherry Turkle membahasnya dalam bukunya yang berjudul  fenomenal Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1997). Melalui pisau cultural studies, Turkle menganalisis hubungan antara manusia, komputer, dan kepribadian.

Situs (fotografi) online melibatkan manusia dengan alat bernama komputer dan keduanya memiliki keterikatan untuk melahirkan kepribadian baru. Ada berapa banyak situs online yang bernafaskan fotografi? jawabnya banyak. Mereka melibatkan masa yang tidak sedikit untuk membangun ruang galeri online, lengkap dengan serba-serbi dan pernak-perniknya. Tercatat ribuan member. Galeri-galeri online dipajang per kategori. Keintimian terbangun didalamnya, proses negosiasi antara produsen dan konsumen lahir melalui fitur-fitur, seperti keberadaan “like”, kolom komentar dsb., Hal semacam itu jarang kita temui dalam galeri-galeri seni secara riil (non virtual). Inilah yang kemudian memiliki kecenderungan untuk melahirkan “kondisi” semacam Technophilia, yang biasanya menjadi pendorong utama untuk mencintai dunia cyber dan tentu saja berdampak pada kondisi psikologi seseorang untuk selalu “update”.

Bourdieu dalam “Photography: A. Middle-brow Art. Cambridge, Polity (1990) pernah mencatat perihal “galeri” dan fotografi, : bahwa fotografi sebagai praksis atau sebagai karya budaya tampak menjadi sarana pemahaman, dalam ekspresi paling autentik, atas estetika (dan etika) kelompok atau kelas berbeda dan khususnya “estetika” populer yang dapat dimanisfestasikan di dalamnya.  Baginya fotografi berfungsi untuk mengungkapkan hubungan ekuivokal antara kelompok. Bourdieu pernah mencoba melakukan analisis atas beberapa pengguna kamera; orang desa, pekerja pabrik dan yang terakhir adalah kelompok fotografi di Lille, dari hasil analisisnya menunjukan bahwa determinisme kelas- melalui mediasi “simbolisme kelompok dan praksis individu-mengkonstruksikan apa yang layak difoto, subjek apa saja yang layak diterima.

Apa yang dilakukan oleh Bourdieu adalah analisis fotografi dalam lingkup ruang non virtual. Lalu bagaimana ketika fotografi berada pada ruang cyber? Kelayakan dan subjek yang seperti disebutkan oleh Bourdieu tidak sepenuhnya berlaku lagi ketika memasuki ruang cyber. Cyber space dengan sendirinya “menyeleksi” ruang-ruang mandiri yang se-ide dengan foto tersebut. Tidak perlu kurator untuk menerbitkan dalam sebuah galeri, karena yang ada hanyalah keputusan pribadi untuk tunduk pada aturan “cyber” dan keberanian untuk tampil. Persoalan rating bisa menyusul kemudian. Tentu saja dengan negosiasi dan diskusi-diskui yang terbangun di dalamnya, semakin banyaknya diskusi yang terekam maka ia akan menjadi pembicaraan banyak orang. Dan pengikutnya pun akan lahir. Begitu seterusnya.

Banyak fotografer mencatatkan namanya via virtual, dengan “banderol” ribuan like atau ratusan share, ia lebih cepat dikenal dibandingkan mereka yang memampang karyanya via cetak. Semua member dalam komunitas ruang cyber saling berlomba untuk menarik perhatian member yang lain. Berusaha menghadirkan foto yang “ciamik”, yang lain dari yang lain. Atau menawarkan konsep yang baru. Foto mereka bebas diunduh siapa saja, siapapun bisa mendapatkan untuk kembali dibagikan ke-teman yang lain. Hal-hal semacam inilah yang tidak akan didapatkan dalam “galeri pameran” non virtual. Kepuasan seorang fotografer akan sampai puncaknya ketika galeri pribadinya mendapatkan pengakuan dari para pengunjung, ia seperti tengah mengalai “cyberorgasm”, kepuasan yang di dapat melalui ruang cyber. Selanjutnya, modal simbolik secara virtual melekat pada dirinya.

Bukan hanya di website khusus fotografi saja, akun-akun pribadi macam facebook, twitter, instagram, ataupun blog pun ada. Di berbagai ruang, fotografi “menghadirkan” dirinya sebagai simbol-simbol sosial. Semenjak jaring-jaring internet lahir, maka secara perlahan, jiwa sosial beserta “keintimannya” mulai masuk dan membaiat dirinya sebagai jamaah dunia cyber. Dalam ruang cyber, siapapun bisa melancarkan kritik. Pupusnya kondisi tatap muka membuat kritik mengalir tanpa “terbebani” kepemilikan “modal” sebelumnya. Diskusi-diskusi karya akan senantiasa berjalan, entah melibatkan si empunya karya ataupun tidak.

Komunitas-komunitas foto “melanggengkan” namanya di bawah legitimasi ruang yang mereka ciptakan. Entah ruang pribadi seperti facebook, instagram, blog, ataupun ia menjadi bagian dari komunitas foto online.  Foto adalah produk visual yang masuk secara masif. Ia lebih dari sekadar etis, namun juga politis. Etis dalam artian mengikuti hukum-hukum pasar, dan politis adalah sebagai perpanjangan ide ataupun gagasan untuk kepentingan tertentu. Cyber space kemudian menjelma menjadi ruang mesin-mesin pelepasan hasrat seseorang untuk diakui, serta mendapatkan popularitas. Mengutip apa yang dikatakan oleh Pilliang (2004) bahwa cyber space pada hakikatnya adalah dunia citra, akan tetapi citra dalam pengertian khusus, yaitu yang terbentuk oleh data-data digital, yang memungkinkan setiap orang tidak hanya, dapat melihat, seperti halnya foto, akan tetapi dapat masuk, dapat hidup, dapat berinteraksi dengan data tersebut.

Cyber space membuka ragam kemungkinan tentang situasi perihal tanda yang tidak sama sekali memiliki hubungan alamiah dengan realitas. Dalam hal ini tanda-tanda yang terbangun adalah sebuah proyek pribadi, produksi secara pribadi dan teruntuk dirinya sendiri, meskipun memiliki keterhubungan dengan jaring-jaring seluruh masyarakat cyber, namun ia adalah senyatanya merujuk pada “self production system”. Yasraf dalam bukunya posrealitas: realitas kebudayaan dalam era post metafisika (2004) menguraikan bahwa cyber space menciptakan kondisi bagaimana tanda terputus dari realitas. Karena tanda terputus dari realitas artinya, maka tanda menciptakan semacam orbit tanda otonom yang di dalamnya tanda berputar tanpa henti di dalam ruang-ruang virtual.  Pilliang menambahkan bahwa cyber space menyediakan ruang yang di dalamnya tanda, simbol, dan citra dikembangkan secara mandiri, tak terikat relatif bebas, yang memungkinkan ditumpahkan segala modal, kapaitas dan kemampuan kreatif individu atau kelompok di dalamnya. Begitu pula yang terjadi dalam dunia visual.

Senyatanya, dunia fotografi cyber menjadi salah satu aspek pendukung kemunculan dan langegngnya “desa global”, sebuah terminologi dalam ilmu komunikasi, ibarat sebuah desa dengan corak pedesaan yang khas dimana penduduknya memiliki kesepemahanan yang sama dan hobi yang sama, maka fotografi cyber hadir sebagai, desa-“fotografer”-global.  Dalam Understanding Media: Extension of A Man (1964) Marshall McLuhan memperkenalkan konsep ini (desa global). Konsep ini memuat pemikiran mengenai keberadaan masyarakat yang mulai masif terhadap keberadaan teknologi. Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Desa dimana kita bisa merasuk dan berkumpul dalam satu ruang yang “sepaham”. Desa dimana masing-masing warganya memiliki “proyek” identitas dan saling berkontestasi dalam fotografi. Di dalamnya kita akan melihat rekam visual dari berbagai kondisi, alam, manusia, bangunan ataupun cerita-cerita yang ditampilkan melalui foto. Selanjutnya, ketika satu warga mengalami cyber orgasm maka technophilia akan menjalar bagi anggota warga yang lain. Meriah. Dan tolong jangan kau tanayakan apa maksud judul di atas, saya aja bingung 😀

“di-pupus-kannya patriarki”: mencoba melihat (kembali) FTV Badik Titipan Ayah

Gambar

Perairan Bira membentang luas dengan kapal-kapal berlabuh di tepiannya. Sepasang muda-mudi berdiri di antaranya. Pandangannya saling terpagut jauh, membelakangi. Berat lamunan seperti tengah membawa karang sampai ke Selayar. Ialah Andi Tenri (Tika Bravani)  anak dari Karaeng Tiro (Aspar Paturusi) dan Firman (Guntara Hidayat).

Malam sudah begitu larut, Andi Tenri masih disibukan dengan kegelisahannya. Tetta dan Amma’nya sudah lelap tertidur. Perlahan ia beranjak dari kamar, pelan-pelan ia tarik gagang pintu, dengan amat perlahan ia turuni tangga rumahnya. Sesampainya di jalanan kecil di kampungnya, telpon Andi Tenri berdering, rupanya dari Firman. Kekasihnya.

“Saya sudah di jalan”, jawabnya singkat.

Tak beberapa lama, Firman dengan sepeda motornya menghampiri Tenri.

“kenapa lama?”,

“saya harus pastikan semuanya sudah tidur”, begitu ia menjelaskan.

Firman nampak ragu,

“Tenri, kau benar-benar yakin ingin melakukan ini”

“kita tidak punya pilihan lain”, timpalnya

“kita bisa jelaskan pada Karaeng Tiro tentang keadaanmu”

“Tidak, kita sudah berbuat salah, kalau Tetta tau hal ini, dia pasti lebih marah”, Jawab Tenri

“Silariang ini punya resiko besar!, kau siap?”

“Bukan hanya saya saja yang harus siap, tapi kita, apa kau siap?” Begitu Tenri menjawab pertanyaan Firman, seolah Tenri ingin meyakinkan  kepada Firman akan pilihannya tersebut. Tanpa berkata-kata lagi, Firman menjalankan sepeda motornya. Mereka meninggalkan Bira menuju Makassar.

Ini adalah frame awal tentang kisah Badik Titipan Ayah, sebuah FTV “20 Wajah Indonesia” yang coba mengangkat budaya bugis. Dalam ranah tradisi kebudayaan -adat-, hubungan asmara memiliki aturan yang cukup “pelik”, pelik dalam artian ia adalah lebih dari sekadar hubungan hati, ia adalah sebentuk modal sosial, percintaan hanya sebagai dalih dalam pelanggengan hubungan sosial. Saham kebudayaan dalam “frame” adat yang masih kental memiliki andil dalam hal ini. Selain faktor tersebut, konflik orang tua yang berujung pada harga diri keluarga juga menentukan dengan siapa si anak “diperbolehkan” menjalin asmara. Saya pikir, saham-saham kebudayaan asmara-pernikahan di nusantara ini kurang lebih “berlaku” sama. Di beberapa tempat yang masih kental dengan nilai-nilai adat, bahwa perjodohan, penentuan pasangan sudah menjadi “format” adat yang harus dipatuhi.

Shubuh telah tiba. Amma’ mengetuk pintu kamar Tenri berkali-kali untuk membangunkan sembahyang shubuh, namun begitu terkejutnya Amma’ (Widyawati) ketika menemukan sepucuk surat di kamar Tenri, begini bunyi suratnya:

“Tetta dan Amma’ tercinta, Tenri mohon maaf kalau selama ini membuat susah Tetta dan Amma. Apalagi sekarang Tenri harus melakukan Silariang bersama  Firman. Sebenarnya Tenri dan Firman tidak ingin melakukan ini…Tapi setelah menjajaki beberapa kemungkinan dan kelihatannya Tetta tak akan pernah setuju, kami merasa tidak ada jalan lain yang bisa diambil lagi untuk melunakkan hati Tetta…Oya Amma’ mohon maaf sekali lagi karena Tenri juga sedang hamil. Bukan karena Firman yang membujuk, tapi atas keinginan Tenri sendiri  karena tadinya Tenri pikir bisa meluluhkan hati Amma dan Tetta karena lahirnya seorang cucu”

Posisi Tenri memang “Subaltern”, ia tak dapat berbuat apa-apa, ia tak punya kuasa. Setelah sebelumnya ia berusaha merayu dan mencari cara agar hubungannya dengan firman direstui. Akhirnya Ia memilih pilihan: Silariang!. “taktik” hamil ditempuh sebagai respon yang cukup ekstrim atas penolakan keluarga Tenri. Kehamilan Tenri bukanlah sebuah “kecelakaan” tapi karena jalan yang secara sadar diambil oleh pihak perempuan (Tenri), Tenri yang meminta Firman untuk melakukan hal tersebut. Perubahan dari “subjek ke objek” yang dilakukan Tenri nantinya akan melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Sabiruddin dalam tesisnya yang membahas pemaknaan silariang mengutarakan bahwa silariang merupakan perkawinan yang dilakukan tanpa melalui proses adat yang berlaku dalam masyarakat. Bagi pelakunya akan mendapatkan sanksi adat. Silariang merupakan fenomena budaya yang paling sentimental dan sering mengakibatkan perselisihan dan bahkan pembunuhan bagi orang yang terlibat di dalamnya. Silariang berhubungan erat dengan Siri. Bagi orang bugis, Siri adalah hal yang sangat penting. Sejauh mana mereka dipandang adalah sejauh mana mereka menegakan siri’. Mereka memiliki konsep siri’ yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Secara sederhana, siri’ didefinisikan sebagai harga diri.

Apa yang terjadi ketika sebuah keluarga merasa harga dirinya dilecehkan?dicemarkan?maka amarahlah yang muncul, seperti yang dialami oleh Tetta-nya Andi Tenri. Dengan menggebu-gebu ia menghubungi Andi Aso (Reza Rahardian), kakak Andi Tenri.

Tetta : Aso!

Aso    : ya, ada apa Tetta?

Tetta : Pulang sekarang!

Aso    : pulang?

Tetta : Langsung ke terminal sekarang, kau harus ada di rumah secepatnya

Aso    : Tapi saya sedang sibuk, Tetta. Menyelesaikan skripsi.

Tetta : Lupakan!!, kau harus pulang sekarang!

Aso    : kenapa saya harus pulang sekarang Tetta?, kenapa mendadak sekali? Tetta sakit kah?

Tetta : Andiknu, lari dari rumah.

Aso    : Tenri?

Tetta : Silariiaaang!!

Begitu pentingnya harga diri sebuah keluarga, pendidikan yang pada awalnya berada pada posisi untuk melahirkan harga diri yang lain dan untuk “melahirkan” kelas pada ujungnya terkalahkan pada faktor lain yang lebih penting. Siri’.

Seorang teman keturunan bugis pernah bercerita bahwa salah satu upaya menegakkan siri’ adalah melalui kekerasan. Badik menjadi “alat” dalam penegakan siri’, Badik menjadi simbol kekuatan adat, simbol hadirnya penyelesaian persoalan adat, seperti yang terlihat dalam  judul film televisi tersebut. Badik adalah sebuah benda tajam yang terbuat dari besi dan merupakan alat tradisional di Bugis-Makassar. Badik dan kekerasan sering menjadi pilihan dalam menyelesaikan persoalan termasuk dalam kasus silariang. Dalam praktiknya Badik masih menjadi simbol kekuatan adat dalam penyelesaian masalah, dan badik menjadi simbol-simbol patriarki. Melalui tangan lelaki,  badik di hunus sebagai tanda pemberontakan terhadap tercemarnya harga diri.

Pernikahan adalah sebuah praktik kebudayaan yang di dalamnya memuat ruang-ruang  kontestasi. Relasi kuasa nampak jelas didalamnya. Bagaimana pembentukan kapital ekonomi selalu diawali oleh kapital budaya, maupun kapital sosial. Saya coba kutip dari Tesis dengan tema yang setipe, punya seorag kawan bernama Sabiruddin, Birgitt Röttger-Rössler (2008) dalam hasil penelitian etnografi yang berlokasi di Makassar dengan topik Voiced Intimacies: Verbalized Experiences Of Love And Sexuality In An Indonesian Society. Secara umum, penelitian Bergett lebih memfokuskan pada ritual pernikahan sampai dan melihat posisi gender dalam hubungan suami-istri dengan dasar pengetahuan budaya dan ritus lainnya.

Rössler memetakan dua model pernikahan yang ada di Makassar, yakni pernikahan bentuk normatif dan dianggap benar yaitu perjodohan (arranged merriages). Pernikahan ini dianggap sangat penting karena menentukan pertalian keluarga dalam istilah status sosial-politik, ekonomi, dan juga menentukan wibawa keluarga. Oleh karena itu, hal yang pertama kali diperhatikan dalam pernikahan bukan interakasi mempelai melainkan disusun dan direncanakan oleh keluarga. Pernikahan model ini tidak hanya berfokus pada masalah ekonomi dan status sosial melainkan  kecocokan masa depan, sikap, value, dan emosi yang baik. Kategorisasi yang kedua adalah pernikahan yang mengakibatkan harga diri keluarga terancam yang dia sebut self-made marriage.

Pernikahan normal dikenal ritual budaya sunrang (harta yang kepemilikannya dipindah-tangankan dari pihak laki-laki kepada pihak/mempelai perempuan). Rössler menyatakan bahwa ritual tersebut sebagai bentuk antisipasi jika dalam perjalanan rumah tangga berakhir baik itu karena fenomena cerai ataupun karena sang suami meninggal. Silariang sebagai salah satu bentuk pernikahan menjadi pilihan sebagai strategi dalam sebuah hubungan. Silariang biasanya sebagai bentuk strategi dan usaha dalam keadaan pengambilan keputusan yang sifatnya disengaja ditempuh.

Perempuan-perempuan dalam BTA (Tenri dan Amma’) memiliki peranan yang sangat penting, meskipun ini kasusistik, tapi sangat menarik untuk disimak. Bagaimana sosok tenri yang memutuskan untuk mengambil langkah silariang. Ia sadar bahwa keputusannya adalah melawan nilai-nilai sosial yang ada, dan dia tahu secara pasti bahwa Badiklah yang akan menghukumnya. Bahwa kakak laki-lakinyalah yang akan menghunuskan Badik untuk “membayar” siri’ yang telah ia lecehkan. Tenri terhegemoni oleh keadaaan yang serba mengikatnya, namun di sisi lain justru Aso dan keluarganyalah yang menjadi pihak tersubordinasi karena keadaan yang diciptakan Tenri.

Konflik terus berlangsung hingga Tenri melahirkan. Di sisi lain, Karaeng Tiro (Tetta dari Tenri) tengah sakit. Hingga di suatu pagi, ia mengalami serangan jantung karena tak kuasa menahan amarah atas ulah tetangganya yang menanyakan keberadaan Tenri. Karaeng Tiro pun meninggal. Suasana begitu sentimentil karena di hari itu juga Tenri, Firman dan anaknya pulang ke rumah. Tenri ingin melihat Tettanya untuk terakhir kali. Aso kemudian berdiri mencegahnya, lalu di hunusnya badik pemberian ayahnya. Badik ia hunus tepat di jantung Tenri yang tengah menggendong anaknya yang baru saja ia lahirkan.

“Berani kau datang kesini”, bentak Aso.

“Sungguh, saya tahu kami datang kemari, saya, suami saya, dan anak saya ini, akan menghadapi resiko yang sangat tidak kecil, tolong ijinkan saya untuk melihat Tetta yang terakhir kalinya, sebelum saya mati, firman mati dan kemenakanmu ini juga mati, Daeng Aso!

“berani kau menggertaku, Tenri!”, timpal Aso, dengan badik masih diarahkan ke dada Tenri

“kau tahu hukuman apa bagi mereka yang melakukan silariang?, si Firman harus bertanggung jawab!, kematian Tetta akibat sikap pengecutnya, dia bukan laki-laki seperti yang ku kira” lanjut Aso

“tidak, aku tidak sedang menggertakmu!

“Mundur! Mundur kau Tenri!, Teriak Daeng Aso dengan nada tinggi

Di sisi lain, Daeng Limpo yang merupakan kerabat dekat dari Karaeng Tiro turut terpancing emosinya “Badik!, kalau sudah tercabut pantang ia kembali masuk ke sarungnya sebelum melakukan tugasnya, Daeng Aso!, jangan kecewakan permintaan terakhir Tettamu, ayo! Ayoo! Tunggu apalagi!, begitu ucapnya.

Kondisi semakin tak terkendali. Di balik kerumunan orang-orang, muncul Amma’ dengan mata  masih begitu sembab,

“Tunggu!”, dengar Amma’…! Aso, Tenri, sebentar lagi amma’ mau menguburkan Tettamu, apa kalian pikir amma sanggup menjalani hidup jika amma hari ini juga harus menguburkan anak, menantu dan cucuku?”. Semua terdiam, tangis dari amma semakin menjadi.

Lalu kemudian, Amma menggampiri jenasah Tettanya, ia berkata

“tetta,  seumur hidup perempuan lemah ini selalu mengabdi kepadamu, berbakti kepadamu, mengaminkan apa yang Tetta lakukan, sebagai imam keluarga, tanpa ada keberatan tiada juga sebutir penolakan. Apa yang Tetta inginkan aku lakukan. Tapi sekarang ini, Tetta. Untuk pertama kalinya perempuan lemah yang sudah memberimu dua biji mata bagi  kehidupanmu, meminta dengan sangat. Memohonmu, agar bisa mengikhlaskan semu yang telah terjadi, Tetta…. kau marah Tetta? Aku terima. Tapi apa artinya hidup jika benci yang menjadi raja, Tetta. Aku tak puas bisa membuat darah tumpah dan nyawa lepas dari orang yang kita benci, apakah perasaaan itu yang akan kita rawat dan di bawa sampai mati? dengan rasa cinta kita yang sudah 25 tahun lebih kita dekap bersama, biar hanya ada cinta yang bersemayam di rumah ini, di hati anak-anakmu. Tenri anak kita, biji matamu yang kau sayangi sudah melakukan kesalahan terbesar, tapi apakah kita sebagai orang tua tidak mempunyai andil dalam memupuk dan membesarkan kesaahan itu?, selama aku hidup dan tinggal di rumah ini tidak akan kebencian bertahta di hati, bahkan setitik. Karena itu dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyanyang aku nyatakan seluruh perselisihan ini usai di sini! Aku mohon maaf Tetta karena kehendakmu tidak lagi ku patuhi, semoga engkau berbaghia di alamu sekarang, kami yang masih hidup ini akan selalu menjaga cinta kepadamu, dengan doa-doa kami.

Monolog panjang amma’ tersebut meluruhkan segala emosi yang sempat hadir, semuanya terdiam, Tenri menangis, Aso, pun demikian. Bahkan Limpo yang awalnya meledak-ledak hanya tertunduk lemas, air matanya menetes haru.

Kisah ini mencoba menghadirkan negosiasi terhadap fenomena silariang. Sebagai bagian dari media, film memiliki “pola-pola resistensi” sehingga dari pola inilah kemenarikan kontsruksi dapat muncul.  Secara kekinian, titik tekan utamanya adalah bagaimana masyarakat seharusnya merespon fenomena silariang. Hal tersebut tergambar dalam adegan terakhir, di saat semua emosi lebur dalam kata-kata amma’.

Elizabeth Lutters (2010) memberikan gambaran bahwa cerita FTV umumnya mengahadirkan narasi konflik baik dalam bentuk cerita film, sinetron, telesinema, serial  lepas, termasuk FTV. Misalnya Lutters mencontohkan grafik cerita yang diawali dengan sebuah teaser (gebrakan di depan), konflik, klimaks, dan tamat.

“dimatikanya” sosok Tetta (karaeng tiro) sebelum konflik berakhir seperti sedang tengah ingin”membunuh” jala-jala patriarki dengan segala penyelesaian berdarah. Daeng Tiro yang diceritakan dari awal memegang prinsip adat dan dia berupaya agar Firman dibunuh tanpa ada negosiasi, “sengaja” dimatikan agar terjadi negosiasi. Mungkin, jika Daeng Tiro tetap hidup hingga kembalinya Tenri, kisah akan gampang ditebak, yakni, terbunuhnya Firman dengan badik menancap di dadanya.

Jaring Patriarki dan kekerasan memang kental dalam kasus-kasus adat semacam ini. Dengan matinya Daeng Tiro artinya pupusnya nilai-nilai patriarki dan “penyimbolan” badik sebagai penyelesaian masalah siri’ pun berakhir, dan jalan mulus bagi perempuan kedua (amma’) untuk bersuara, setelah perempuan pertama (Tenri) membuka konflik. Amma’ yang sedari awal cerita bersikap “ambivalen” mendukung sikap “kekerasan” suaminya, namun juga membela perasaan anaknya, akhirnya melapangkan dadanya untuk meminta maaf atas “norma adat” dan benar-benar lebih berada pada posisi bagaimana layaknya seorang amma’.