Archive | Oktober 2016

Tiga Titik dalam Fotografi: Teori, Kajian, dan Sejarah Foto

Setiap berkunjung ke toko buku, Saya selalu menyempatkan untuk mencari atau sekadar melihat-lihat buku-buku fotografi melalui komputer. Tak banyak yang saya temukan. Sebagian besar, buku-buku foto yang saya temukan didominasi oleh buku-buku yang membahas bab teknik maupun tips dan trik.  Sekilas terasa biasa saja, mengingat Indonesia menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya industri visual bernama fotografi. Fotografi bukan lagi barang mahal. Siapapun bisa mendapatkan kamera, siapapun bisa memotret, dan siapapun bebas mengunggah karya foto ke media yang dimiliki. Saling bertukar tips menjadi hal yang lumrah dan jamak kita temui di perbincangan seputar fotografi.

Namun apakah akan selamanya fotografi hanya  membicarakan bab yang demikian? Tentu saja jawabnya bisa panjang, bisa pendek. Bisa rumit, bisa juga sederhana.  Jawaban sederhanya: Perbincangan mengenai bab teknik perlu dilakukan dalam proses kreatif menciptakan sebuah karya. Lantas setelah foto itu jadi? Sekadar dikonsumsi kah? Setelah dikonsumsi? Lantas, apakah dalam olah visual tidak ada wacana-wacana sosial yang mempengaruhi? Apakah ketika produk visual (foto) itu jadi akan berdiri sendiri dan bebas nilai? Nah, jawaban yang tak sederhana akan muncul dari pertanyaan terakhir yang saya tuliskan tersebut.

Buku Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita karya Taufan Wijaya yang akan kita perbincangkan ini menarik. Dalam hal ini, saya lebih ingin menempatkan buku ini dalam perbincangan mengenai teori dalam fotografi. Jika kita runut ke belakang, fenomena dalam arena fotografi sangatlah kompleks. Fotografi mampu secara tajam mengkonstruksi realitas, dan dalam beberapa hal berfungsi sebagai kontrol sosial. Fotografi juga menjadi pertanda kemeriahan pesta-pora modernisasi. Gampangnya, fotografi hadir sebagai simbol masyarakat modern. Sayangnya, fenomena semacam ini tidak diimbangi dengan keberadaan buku-buku teori.  Kita seolah terjebak pada sesuatu yang teknis, dan abai pada definisi-definisi dan pengertian mendalam mengenai foto itu sendiri. Ketika teknologi semakin berkembang dan genre-genre dalam fotografi juga terus berkembang, tapi tidak diimbangi dengan “sebuah” pegangan dan patokan yang jelas, jangan-jangan selama ini,  mereka di luar sana (para pegiat kamera) hanya melakukan sesuatu yang –mereka anggap menyenangkan- tapi tidak bisa menjelaskan apa yang telah mereka produksi. Fenomena semacam ini tentu saja bukan kabar yang menggembirakan bagi fotografi Indonesia. Di sinilah buku teori itu perlu dihadirkan.

Melalui teori kita dapat melakukan kajian terhadap suatu karya foto. Teori muncul karena telah diadakan pengamatan terhadap objek visual, dan teori dapat berkembang sesuai perkembangan  fenomena fotografis yang ada.   Hubungan antara teori, kajian, dan sejarah dalam arena fotografi tidak bisa dipisahkan. Dengan melakukan kajian, diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi penyusunan sejarah juga perkembangan teori yang ada dalam fotografi. Sebaliknya, kajian bukan hanya saja memerlukan teori, namun juga –dalam beberapa hal- memerlukan referensi dari sejarah sebagai titik berangkat.

Saya ingat salah satu buku foto karya Olivier Johannes Raap: “Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe”. Buku tersebut berisi ratusan kartu pos dengan objek foto  masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Uraian-uraian yang ia sampaikan mampu menyusun dan melakukan kategori atas foto-foto yang ada pada waktu itu. Contoh lain bisa kita dapati dalam buku yang sedang kita bahas ini. Dalam salah satu bagiannya, Taufan melampirkan foto cerita “Jakarta Masa Lalu” di harian Kompas edisi Minggu 29 Juli 2012 karya Agus Susanto. Juga bisa kita dapati pada halaman 26, mengenai foto cerita “ Sang Instruktur” yang dimuat dalam majalah Readers Digest Indonesia Edisi Desember 2006. Karya-karya foto tersebut, selain menampilkan visual juga mampu menyusun hadirnya sejarah foto indonesia. Selain mampu menyusun sejarah pada genre foto cerita, foto-foto tersebut juga memuat wacana visual yang berkembang pada waktu itu.

Sebagai buku teori,  buku karya Taufan Wijaya ini berusaha melakukan definsi serta batasan dan aturan main dalam membuat sebuah foto cerita. Tentunya literasi seperti ini perlu sebagai panduan dalam penyusunan karya dan sebagai acuan dalam pengkajian fotografi. Dengan adanya teori kita bisa memahami alur penceritaan serta bagaimana foto itu disusun. Dalam prakatanya, Taufan mengutarakan bahwa banyak fotografer menemukan foto cerita di koran atau majalah dan menganggap semua bentuknya sama. Padahal foto cerita disajikan dalam tiga bentuk umum, yaitu deskriptif (descriptive), naratif (narrative), dan foto esai (photo essay)

Masing-masing dari bentuk tersebut memiliki corak khas serta memiliki titik poin penekanan yang berbeda. Pola-pola penceritaan membutuhkan kekuatan wacana. Mirip-mirip ketika kita membuat karya sastra, entah puisi, cerpen, maupun novel. Kekuatan unsur instrinsik dan ekstrinsik tentu saja diperlukan.

Selanjutnya, mengomentari satu yang khas dan “mutlak ada” dalam foto cerita: keberadaan teks. Teks mampu meningkatkan daya penceritaan sebuah foto. Barthes, pernah menuturkan mengenai peran kata terhadap gambar amatlah penting, ia menggunakan istilah pengait/jangkar ( achorage) untuk menggambarkan fungsi kata-kata untuk menjadi narasi. Barthes berpendapat bahwa gambar visual bersifat polisemi dan kata-kata membantu “menetapkan” atau dengan kata lain mengarahkan terhadap pembacaan. Inilah yang kemudian oleh Stuart Hall (1973) disebut sebagai “a preferred reading”. Kata-kata membimbing/mengarahkan terhadap pemaknaan sebuah foto. Hubungan antara teks dan visual bersifat resiprokal, keduanya saling terikat juga saling mendukung dalam pembentukan makna. Keberadaan keterangan foto (caption) adalah sesuatu yang penting, ia bukan saja akan berdaya dalam memberikan pengarahan, namun juga mampu membangun konstruksi, karena tekslah yang kemudian memunculkan/melengkapi informasi mengenai fakta-fakta (sosial) yang tidak muncul dalam sebuah foto. Melalui tekslah kita akan mendapati fakta sosial secara utuh. Teks menguatkan materi visual sekaligus mengarahkan pada pembacaan yang lebih sahih.

Sebagai penutup, bahwa fotografi bukan sekadar urusan menekan tombol shutter, fotografi lebih dari sekadar perangkat kamera.  Pengamatan wacana visual, serta pemahaman teori perlu dilakukan. Teori mampu memberikan kemudahan untuk memahami objek. Akan tetapi, yang perlu kita ingat, bahwa teori bukanlah sesuatu yang “tetap”. Bukankah tidak ada teori yang betul-betul lengkap?, selalu ada celah dan ia (teori) selalu membutuhkan perbaikan terus menerus sesuai perkembangan fenomena yang ada. Tentunya dengan hadirnya buku ini (Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita ) telah menghidupkan literasi dalam fotografi dan membuka wacana serta mampu membangkitkan perbincangan yang lebih menarik lagi seputar fotografi. Salam.

* Catatan ini digunakan sebagai modal diskusi buku “Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita” Karya Taufan Wijaya. (Jakarta: Gramedia, 2016). Di selenggarakan di FSR ISI 15  Oktober 2016

Memoar Fotografis: Memperbincangkan Retorika Visual Fotografis dalam 44 Tahun

karena tak ada foto yang “benar-benar” bisa bicara. Namun, melalui materi visual yang termuat di dalamnyalah kita bisa membicarakan sebuah foto dengan ragam perspektif.

img_20160919_100233-copy-copy

Rentang waktu 44 tahun menjadi rentang yang cukup panjang dalam memperbincangkan fotografi dan iklan. Jika biasanya memoar mengacu pada catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang, maka tidak dengan catatan ini.  Catatan ini sengaja saya beri judul “memoar fotografis” dengan pertimbangan bahwa  buku ini melibatkan peristiwa fotografis iklan koran dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dimulai dari iklan cetak pertama di Surat Kabar Kompas (1965) hingga 2009. Baik iklan maupun fotografi, keduanya sama-sama berangkat dari fenomena sosial. Secara sosiokultural keduanya bisa dikatakan sebagai bentuk respon kebutuhan, baik kebutuhan industri maupun kebutuhan masyarakat.

Ada 437 iklan yang menjadi amatan Prayanto W.H, penulis buku ini (baca: Retorika Visual Fotografis dalam Iklan Koran). Jumlah yang banyak, bahkan dapat dikatakan sangat banyak. Selama periode tersebut, iklan-iklan dikategorikan. Kategorisasi tidak sebatas pada bab kerja-kerja mekanis, namun juga hal-hal politis dalam fotografi.

Sebagai arena multidisiplin, fotografi dalam berbagai bidang (termasuk  fotografi dalam iklan) bisa dibicarakan dengan ragam keilmuan. Yang kemudian menarik untuk diperbincangkan di awal adalah perihal persinggungan fotografi dengan industri. Sejak awal kemunculannya, fotografi menjadi salah satu bentuk penemuan yang cukup penting dalam merespon kebutuhan manusia dan industri. Terlebih lagi, ketika fotografi ditemukan dan dipatenkan pada 1839, di Eropa sedang terjadi Revolusi Industri. Dimana alur perdagangan kian padat, dan pabrik-pabrik semakin bermunculan. Dan fotografi muncul sebagai salah satu kekuatan visual (baru) dalam merespon tumbuh kembangnya industri pada waktu itu.

Menyoal Retorika Visual, merujuk tulisan Matthew Rampley dalam Exploring Visual Culture (2005) yang berjudul Visual Rhetoric. Di katakan bahwa Retorika visual memiliki peran penting dalam melihat budaya visual dalam kaitannya dengan mekanisme sosial dan  ideologi. Dalam salah satu sub babnya: Visual Communication and Visual Rhetoric, Rampley “meminjam” salah satu esai Barthes yang membahas sampul majalah Paris Match. Sampul tersebut menampilkan seorang prajurit kulit hitam dengan seragam militer Prancis sedang memberi hormat kepada Bendera Prancis. Esai ini digunakan untuk menjelaskan relasi (kuasa) antara produk visual dengan struktur sosial yang ada. Visual semacam ini memiliki daya “politis” dalam membangun opini serta membangun “kesadaran” audiens. Pun dalam bahasan ini (fotografi iklan). Iklan melalui fotografi dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga mampu membangun tawaran yang “ideal” mengenai kehidupan. Tawaran “ideal”, atau lebih jauh bisa dikatakan seolah-olah “ideal”. Kata ideal sengaja saya kasih tanda petik, karena “ideal” tentu saja bukan sesuatu yang serta-merta muncul dalam benak konsumen, tapi melalui proses pemaknaan yang kompleks. Ada relasi kuasa antara Industri (pembuat iklan) dan (calon) konsumennya.

Sependek yang saya tahu, tak banyak buku-buku yang membincangkan fotografi dari sisi wacana kritisnya. Kebanyakan hanya berpijak pada persoalan teknis. Dan tak banyak para mahasiswa yang mengambil tugas akhir bab fotografi mau mengalih mediakan dari format akademis (skripsi-tesis-disertasi) ke dalam format buku yang lebih lentur.  Buku yang sedang kita bahas ini merupakan “alih format” dari disertasi ke dalam bentuk buku, dan  menjadi salah satu dari yang sedikit tersebut. Hal ini tentu saja membawa angin segar dalam perbincangan fotografi yang “hampir selalu”  berorientasi dalam persoalan teknis.

Secara pragmatis, fotografi dalam iklan berfungsi untuk mempengaruhi konsumen, namun dalam keparagmatisannya ada sesuatu yang politis. Bukan hanya sekadar mendaya fungsikan kemapanan estetika, namun ada  “tawaran ideal” bagi kehidupan sosial. Di sinilah kemudian fotografi mampu  membangun konstruksi aneka rupa kode sosial mengenai sesuatu yang “ideal”. Nilai-nilai “ideal” tersebut kemudian –dalam bahasan ini, salah satunya- diperantarai melalui figur tokoh sebagai pembawa pesan.

Setidaknya ada dua hal yang menarik untuk kita perbincangkan dalam buku ini, yang pertama menyoal kekuatan fotografi dalam mengkonstruksi realitas, baik dari segi teknis maupun wacana (materi) visualnya. Yang kedua: mengenai citra-citra periklanan di setiap periodenya. Penulis membagi tiga periode dalam kajiannya. Dan masing-masing periode menunjukan gaya visual serta wacana yang berbeda.  Tidak semua bab akan saya bicarakan dalam ulasan kali ini, hanya beberapa saja. Terutama bagian-bagian yang mengacu pada gaya fotografi dan wacana-wacana (politik) fotografis. Meski tidak menutup kemungkinan bagian-bagian lain bisa saja disinggung, karena pertautan dalam masing-masing bab bisa dibicarakan secara mandiri maupun secara bertaut.

Tiga periodisasi masa dalam buku ini; yang pertama periode 1965-1970an. Pada periode ini iklan-iklan menggunakan kekuatan visual fotografi untuk membangun citra produk. “gaya informasi iklan bersifat informasi yang berorientasi pada produk” (hlm: 98). Beberapa di antaranya: Iklan pertunjukan musik The Trolls Quartet (10 September 1965), Iklan Corned Beef Chips (23 Juni 1967), dan Iklan Electone merek ‘Yamaha’ (27 Juni 1976). Jika dilihat dari visualnya, pada lapisan lebih dalam, Iklan-iklan pada periode ini selain berorientasi pada produk juga  membawa tawaran mengenai gaya hidup. Ada konstruksi identitas yang diprasaranai oleh pakaian. Juga ada “identitas” figur yang didayakan untuk mendongkrak pemasaran. Misalnya pada iklan Corned Beef Chips, terdapat teks yang secara jelas mengacu pada hidangan “saya selalu memakai CIP Corned Beef & Sopini untuk membuat bermacam-macam hidangan yang lezat” (hlm: 104). Dengan bintang iklan Ny. Tanzil yang mengenakan sanggul dan kebaya. Ini menarik, bagaimana hidangan “ala barat”, namun dalam iklan disajikan oleh seorang yang bersanggul dan berkebaya yang notabene “corak budaya timur”. Ada semacam “permainan” identitas dalam  iklan tersebut.

Selanjutnya pada periode kedua: 1980-1990-an, ada citra diri yang difungsikan sebagai kekuatan iklan. Citra beserta identitasnya dikonstruksikan sebagai pola wicara dalam iklan. Beberapa iklan yang menjadi ulasan dalam periode ini: Iklan Sabun Lux ( 9 maret 1978), Iklan televisi ‘Grundig’ (22 Januari 1980), Iklan Rexona ( 6 Juni 1980), Iklan Mobil ‘Kijang’ (10 Desember 1986) dan iklan Mobil Mazda (11 November 1995). Permainan metafor (visual) terlihat dalam periode ini. Teks  didayakan untuk membangun imaji yang ideal. “ Saya pertama kali mengenal LUX di Paris”, Teks ini muncul dalam Iklan Lux. Tampilan foto seorang wanita berdandan ala wisatawan, dengan latar belakang Menara Eiffel. Modis. Sesuai dengan apa yang selama ini diidentikan dengan Paris sebagai kota yang modis. Selanjutnya, pada Iklan Rexona: “Akhirnya dia yakin berkat Rexona”. Visualisasi sepasang –mungkin- kekasih, berdiri berdekatan dengan perempuan sedang asik  dan lelakinya terlihat melirik dengan senyuman kecil.

Periode ketiga; pasca 2000an, gaya visual iklan mulai bergeser pada ekspresi pengalaman pengguna. Secara sosial, ekspresi pengalaman masyarakat didayakan dan dijadikan sebagai strategi dalam konstruksi visual iklan. Seperti terlihat pada Iklan Sepeda Motor ‘Dast’ ( 1 November 2000), Iklan pendingin ruangan merek Sharp (24 Juli 2009),  Iklan Flexi (13 juni 2009) dan Iklan Handphone Samsung (13 Mei 2002).

Dari rangkaian data dan analisis yang disajikan, dapat disimpulkan bahwa visualisasi fotografis dalam iklan menjadi representasi kehidupan industri dan kehidupan masyarakat (konsumen) yang berorientasi pada tawaran “ideal”. Buku ini cukup komplit dalam membincang fotografi dalam iklan, tapi bukan berarti lantas menutup kemungkinan untuk membicarakan hal yang sama (fotografi dalam iklan). Karena ketika sebuah objek sudah atau sedang diperbincangkan, sekomplit apapun, tentunya akan terus melahirkan turunannya, celah-celah itu tetap tersedia dan perlu untuk terus diisi. Dan di sinilah menariknya. Ketika teknologi makin berkembang, terlebih lagi dengan kehadiran ruang media baru, fotografi dengan gaya visualnya pun terus berkembang. Tentu saja kehadiran buku ini bisa menjadi semacam alat berpijak dalam melihat fenomena fotografi dan iklan kedepannya.

Sebagai penutup; dalam beberapa hal, menulis menjadi jalan terbaik dalam mengekalkan sebuah karya visual, termasuk fotografi dalam iklan. Tanpa ditulis, foto hanya akan serupa ucapan yang terimbun ucapan-ucapan baru. Meriah namun dilupakan. Tanpa berlindung pada metafor: biarkan foto yang berbicara, kajian dalam buku ini mencoba terlepas dari  metafor tersebut, karena tak ada foto yang “benar-benar” bisa bicara. Namun, melalui materi visual yang termuat di dalamnyalah kita bisa membicarakan sebuah foto dengan ragam perspektif, seperti yang terangkum dalam buku ini. Ia (foto) memang tak bisa bicara, namun selalu bisa dibicarakan. Salam.

 

*Tulisan ini digunakan sebagai modal diskusi buku “Retorika Visual Fotografis dalam Iklan Koran” Karya Prayanto W.H. (Yogyakarta: Kanisius, 2016). Di selenggarakan di FSR ISI 5 Oktober 2016