Karena Desain Komunikasi Visual adalah Keseharian*

“Profesi desainer komunikasi visual menjadi bagian dari mata rantai sebuah penelitian sosial. Desainer komunikasi visual, sebelum berkarya haruslah melakukan berbagai kajian dengan pendekatan lintas ilmu” (Sumbo Tinarbuko, 2015)

DSC_6582 copy

DEKAVE Desain Komunikasi Visual Penanda Masyarakat Global (Sumbo Tinarbuko:2015)

Jika Anda pernah menyaksikan # (hastag, tanda pagar) manusia setengah Sumbo, maka Anda sedang bersinggungan dengan buku “DEKAVE Desain Komunikasi Visual-Penanda Zaman Masyarakat Global”. Sebelum membincang isi buku, saya ingin memulai perbincangan dari halaman sampul. Melalui sampul, Sumbo mencoba memosisikan dirinya “tak utuh”. Setengah. Tentunya bukan dalam artian sesungguhnya. Ia coba merepresentasikan perspektif, perspektif masyarakat desain komunikasi visual. Setengah dari kreator, setengah lagi dari para konsumen. Sampai titik ini mungkin Anda sudah paham apa yang saya maksudkan. Ya, secara kewacanaan karya dan pemikiran desain komunikasi visual tidak pernah “utuh” sebelum sampai ke publik, ia tidak pernah benar-benar menyatu sebelum sampai titik sasarnya. Maka dari itu, -selanjutnya- publiklah (masyarakat global) yang kemudian “menggenapi” pemaknaan dari sebuah karya desain. Ada produsen ada juga konsumen, dan di tengahnya hadir praktik kewacanaan. Bukankah dalam proses komunikasi selalu membutuhkan dua ruas tersebut, produsen dan konsumen? Tentunya materi visual dalam sampul buku ini bisa diperbincangkan lebih jauh.

Sebagai bagian dari “masyarakat” Dekave, saya coba memahami “DEKAVE Desain Komunikasi Visual-Penanda Zaman Masyarakat Global karya Sumbo Tinarbuko (2015) sebagai sebuah arena yang menarik. Setidaknya kita bisa membagi buku ini ke dalam dua ruas. Yang pertama, ia mengarah ke dalam (masyarakat DKV) dan yang kedua ia mengarah ke luar (masyarakat global). Yang pertama dapat diartikan sebagai catatan tentang diri, tentang DKV sebagai institusi “sosial”. Bagaimana secara institusional DKV berperan dalam upaya membimbing mahasiswa agar memiliki kemampuan sebagai calon desainer komunikasi visual yang mampu mengemukakan konsep berpikir, menganalisis, merancang desain berdasarkan kaidah estetika (Tinarbuko, 2015: 85).

Perbincangan menyangkut diri (masyarakat DKV)  bukan saja menyangkut kurikulum pendidikan, tapi juga bagaimana pola-pola perancangan desain yang terus dituntut cepat dan “kekinian”. Di era media siber saat ini, “cepat” dan “kekinian” adalah dua kata yang terus didengungkan sebagai ujung tombak. Secara tak langsung, selera pasar telah membangun konstruksi apa yang disebut dengan “kekinian”. Saya pikir, memahami selera bukanlah sesuatu yang sederhana. Riset dan amatan-amatan sosial mutlak diperlukan.

Dan di sinilah kemudian Desain Komunikasi Visual, selanjutnya saya tulis DKV –mau tak mau- harus bersinggungan dengan ruang-ruang sosiokultural yang terkait dengan fenomena sosial. Selain itu, seperti misalnya dalam “Mendongkrak Gairah Wacana Desain Komunikasi Visual” (hlm: 12), bab ini menawarkan perbincangan yang menarik, bagaimana karya desain bukan saja dituntut kreatif dan baru, tapi juga dituntut menjadi sebuah karya yang memberikan perspektif yang baru, solutif juga mendidik.

Masih dalam bab yang sama, saya coba kutipkan:

“jika karya desain grafis dan desain komunikasi visual bisa diangkat ke singgasana yang lebih terhormat, maka di sisi kiri dan kanan keberadaanya perlu dilengkapi pula dengan bentuk publikasi ilmiah artikel, kajian populer di sejumlah media massa guna menginformasikan kepada masyarakat perihal fungsi dan peran desain grafis atau desain komunikasi visual tersebut.

Sebab perkembangan ilmu desain grafis atau desain komunikasi visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif para pihak sulit bisa dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan desain grafis dan desain komunikasi visual sebagai salah satu kajian kebudayaan akan jalan di tempat alias mandheg!”

Dan yang kemudian menjadi pertanyaan adalah sudah sejauh apa kita menulis tentang Desain Komunikasi Visual?

Buku ini bisa menjadi “tonggak” dalam melihat diri, tentang DKV dalam hubungannya dengan masyarakat. Salah satu yang kemudian terbersit dalam benak saya adalah kajian-kajian yang melibatkan massa, dengan kata lain kajian audiens. Sebagai arena multidisiplin, dalam penyajiannya, DKV selalu melibatkan masyarakat global. Selain itu, ketika perkembangan teknologi dan tata pola kehidupan masyarakat terus berkembang maka pengkajian dengan ragam disiplin harus mulai dikembangkan. Saya rasa, masih banyak “ruang kosong” dalam pengkajian karya DKV. Dan tentunya harus mulai digarap dan dimeriahkan. Mau tak mau. Dan tentu saja hasil kajian-kajian tersebut bisa menjadi modal dalam penciptaan. Di antara keduanya bisa saling melengkapi sekaligus menguatkan.

Setiap hari kita berhubungan dengan karya-karya DKV, hampir semua indra kita merasakan citraan yang dihadirkan. Entah di rumah, jalanan, maupun di pusat perbelanjaan. Sebagai khalayak aktif, tentunya kita selalu membangun pemaknaan-pemaknaan dalam melihat karya-karya yang ada.

Karena estetika saja tidak cukup. Mengingat yang kedua, DKV mengarah ke luar sebagai produk sekaligus memosisikan diri sebagai “konsumen”. Konsumen dalam artian,  DKV mengonsumsi realitas sosial yang kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk karya desain, lantas kemudian menghadirkan karya tersebut kepada khalayak. Dan khalayak kemudian meresponnya (kembali) dengan caranya masing-masing. Begitu seterusnya. Seperti yang banyak diulas dalam bagian buku ini perihal iklan. Iklan dan ruang publik menjadi isu yang terus muncul bagi masyarakat perkotaan. Tata ruang kota dan keberadaan iklan perlu ditilik kembali. Pun dengan hubungan antara masyarakat DKV dengan masyarakat global yang keduanya bukan saja dihubungkan oleh rantai industri namun juga pada produksi karya yang edukatif, etis, juga estetis.

Ruang kota adalah ruang yang plural. Di dalamnya tumbuh ragam ideologi, juga kebudayaan yang melibatkan fenomena-fenomena sosial. Menyepakati apa yang diutarakan oleh Sumbo Tinarbuko bahwa pengkajian DKV dalam konteks lintas ilmu perlu ditunjang; ilmu sosial, ilmu komunikasi, ilmu hukum humaniora, semiotika, dan lainnya (Tinarbuko, 2015:117).

Sebagai penanda zaman, karya DKV bukan hanya melibatkan desainer, karya, dan industri, tapi juga melibatkan masyarakat global. Bagaimana masyarakat merespon dan memaknai desain komunikasi visual. Perbincangan dalam buku ini menarik untuk terus disimak dan bisa dijadikan modal dalam melihat perkembangan DKV kedepannya. Tentunya pengkajian bukan saja bagian dari melihat dan mengamati, namun juga menjadi modal bagi “pencipta” desain. Karena desain komunikasi visual adalah keseharian, di mana sehari-hari kita terlibat dan melibatkan diri dalam proses-proses penandaan, merespon apa yanag dihadirkan oleh para desainer komunikasi visual. Menjadikannya sebuah  penanda zaman (meminjam istilah Sumbo Tinarbuko) dan tentu saja dalam keseharian kita perlu tahu kebutuhan juga perlu paham seperti apa kebutuhan itu dihadirkan. Jika berlebihan? Ya hasilnya seperti yang kita saksikan di ruas ruas jalan perkotaan. Terakhir sebagai penutup: Salam Merdekave!

 

*Dengan sedikit tambahan, dan sedikit perubahan. Sebelumnya tulisan ini  pernah sebagai “modal” diskusi buku DEKAVE Desain Komunikasi Visual-Penanda Zaman Masyarakat Global. Karya Sumbo Tinarbuko (Yogyakarta: CAPS, 2015). Di selenggarakan di DKV, FSR ISI Yogyakarta 8 Desember 2015.

Tinggalkan komentar