Archive | Agustus 2014

Meramu Panggung (foto) Kemerdekaan

Setidaknya Frans Mendur butuh waktu enam bulan untuk bisa mempublikasikan karyanya. Selesai memotret proklamasi, Frans dan kakaknya, Alex Mendur harus memperjuangkan jepretaannya tersebut dari rampasan tentara Jepang. Sayangnya hasil jepretan Alex berhasil dirampas, namun tidak dengan Frans. Frans berhasil menyelematkan beberapa. 20 Februari di tahun berikutnya, foto-foto tersebut dipublikasikan melalui Harian Merdeka.

Frans Mendur berhasil mengabadikan momen dimana Soekarno tengah membacakan teks proklamasi. Dalam foto tersebut kita disuguhi sebuah “bingkai panggung”. Dalam artian, Mendur dengan kesadaran –politik- visual membangun framing menyerupai tampilan ketika kita menonton pertunjukan. Satu panggung utuh ditampilkan dengan tokoh sentral berada di depan, Soekarno. Bukan sekadar keperluan dokumentasi dan jurnalistik, namun posisi ini memberikan kekuatan penokohan serta penekanan kepada publik bahwa “atas nama bangsa indonesia” Soekarno-Hatta telah menyatakan kemerdekaan.

Di fotonya yang lain, tampak upacara pengibaran bendera, ia memasukan massa upacara (peserta upacara) ke dalam bingkai. Keputusan ini terbilang tepat, Frans tidak hanya fokus pada aktivitas pengibaran bendera, namun ia juga  memasukan massa upacara ke dalam fotonya, hal ini menjadi kekuatan visual atas “keberlanjutan” foto (pembacaan teks proklamasi).  Bahwa keinginan merdeka bukan hanya menyoal Soekarno membacakan teks proklamasi saja, namun juga keinginan masyarakat sebagai massa upacara.

Kita akan terus mengenang 17 agustus sebagai tanggal yang sakral nan istimewa. Perihal upacara, Taufik Rahzen menuturkan bahwa upacara mampu menimbulkan gairah kebersamaan, yakni semacam energi positif yang dapat memantik motivasi kuat bagi segenap elemen bangsa untuk bangkit. Ini bisa ditafsirkan bahwa yang terpenting bukan momen upacara itu sendiri, tapi bagaimana orang dapat menyesap upacara dan lantas terpacu untuk bangkit (Lubis: 2007)

Gairah kebersamaan inilah yang kemudian menjelma dalam kesatuan yang coba terus direproduksi dan dipanggungkan kembali dalam ragam upacara kemerdekaan. Masing-masing kelompok berusaha menampilkan identitasnya. Identitas yang disatukan oleh satu kekuatan besar bernama bangsa. Kesatuan identitas yang dibentuk, seperti kata Bhaba, berdasar atas narasi bangsa dimana cerita, citra, simbol dan ritual merepresentasikan makna “kebersamaan”. Hal inilah yang mengada melalui upacara.

Ada banyak foto upacara pada hari ini, mulai dari foto upacara di gunung, goa, bawah air, sawah, hingga pasar. Dari beberapa yang ada, saya tertarik untuk mencermati foto upacara di pasar. Coba buka kompas Senin (18/8) halaman 21, kita menyaksikan sebuah foto upacara di Pasar Nongko, Solo, Jawa Tengah. Selain sebagai penyangga ekonomi, pasar adalah ruang dimana relasi kuasa serta hasrat ekonomi tumbuh dan berkembang . Namun, yang menarik darinya adalah kita menyaksikan ruang multikultur. Ada ragam kepentingan juga ragam barang yang diperdagangkan, tak peduli darimana asalnya, ia menyatu dalam ruang yang sama dan ditawarkan kepada siapapun yang berminat. Pasar memiliki sejarah yang panjang dalam perjalanan bangsa ini. Meramu pasar sebagai panggung upacara tentu saja menarik. Selain tempat “bermukimnya” penjual dan pembeli, pasar adalah ruang interaksi juga komunikasi. Semua berkuasa atas lapaknya masing-masing.

DSC_2807

Erwin Edhi Prasetya, sebagai fotografer cukup jeli dalam melakukan konstruksi visual dan mempertautkan kode-kode kultural yang ada dalam pasar.

Tampaknya Erwin sadar betul perihal kesadaran ruang beserta atributnya. Suatu kesadaran yang diekspresikan melalui simbol-simbol serta diskursus. Bagaimana ia memilih sasaran masyarakat pasar tradisional dengan atribut lokal (batik) yang disatukan dalam ruang kesadaran yang sama: ruang kesadaran upacara.

Beberapa foto upacara kemerdekaan yang muncul di hari ini (18/8) memiliki pola kecenderungan membidik massa upacara. Merekalah pemilik sekaligus pelaku upacara. Upacara adalah cerita dan simbol tentang sebuah identitas juga sebuah rasa. Jika Frans Mendur menonjolkan Soekarno sebagai “tokoh foto” dalam rangka alasan kesadaran politis, maka Erwin telah membangun keyakinan bahwa dalam Upacara di Pasar (judul foto tersebut) adalah sebuah representasi kebersamaan sekaligus resistensi terhadap hadirnya pasar modern.

Dengan pengambilan sudut pandang yang demikian, Erwin menghidupkan roh (massa) upacara sekaligus memberikan citra yang estetis dari foto jurnalistik. Sayangnya, pada titik ini kita akan menemui “persimpangan” klasik perihal daya pikat foto jurnalistik, antara sebagai “pembawa kabar” dan “nilai seni” foto. Menyitir pernyataan Seno Gumira Ajidharma bahwa jika foto dipandang sebagai media, betapapun canggih dan tinggi ‘nilai seni’ foto tersebut, foto itu sendiri memang hanya media, yang betapapun penuh dengan pesona artistik tetaplah yang lebih penting darinya adalah kabar yang dibawa. Jika tidak, foto itu sebagai pembawa kabar akan seperti mengkhianati subjeknya, karena lebih terpamerkan sebagai ‘foto bagus’. Semoga kita tidak lantas melupakan esensi dari upacara dalam ruang pasar tradisional atas dasar tampilan yang estetis lagi artistik ini.

****

Bagi saya, foto proklamasi menjadi salah satu foto terbaik sepanjang masa, ia tidak hanya berkisah namun juga mengubah pandangan dunia tentang Indonesia. Foto yang memenuhi hajat hidup jutaan jiwa rakyat indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Tanpa foto tersebut, kita hanya akan mendengar kabar proklamasi layaknya cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun. Mendur telah memberikan hadiah terbaik bagi bangsa ini. Tak ada yang lebih istimewa dari jejak kenangan yang menyatukan ratusan ribu jiwa dalam sebuah upacara. Terimakasih Alex, Frans Mendur. Kami mengenangmu.

Membincang Kritik Foto Jilid 2

Memperbincangkan fotografi bukanlah sekadar memperbincangkan kenikmatan visual semata, namun manusia dan kebudayaan turut ambil bagian di dalamnya. Secara wacana, ada dua sisi yang saling terkait untuk diperbincangkan: sisi mikro juga makro. Yang pertama lebih kerap diperbincangkan, bahkan lebih banyak dibukukan. Mengingat sisi ini banyak memuat teknik-teknik yang mengantarkan pada tujuan produk visual bernama foto. Produk visual yang kemudian menjadikannya bernilai (sosial maupun ekonomi).

Selama ini kritik foto hanya dibentangkan pada paparan kritik “praktik” yang mencakup wilayah teknik serta berkubang pada wilayah karya semata. Ketika selembar visual bernama foto menjadi produk, maka ia “hanyalah” sebuah alat. Hanya membicarakan alat tentu saja menjebak pada perbincangan pertukangan. Manusia dan kebudayaan tentu saja bukan sekadar perkara permainan tukang, namun mengarahkan pada khitahnya sebagai animal symbolicum. Manusia sebagai animal symbolicum, kata Ernst Cassirer, tentunya memiliki wacana penandaan yang terorganisir dan membentuk simbol-simbol serta merangkainya menjadi sistem relasi kuasa dalam konteks kebudayaan visual (foto).

Jika fotografi adalah bahasa dan kita tempatkan sebagai teks, maka ia adalah lahan subur bagi ragam disiplin keilmuan. Jika mikro “hanya” bergelut pada tataran karya dan memperbincangkannya secara struktur teknis, komposisi, warna, pencahayaan, serta sudut pandang, maka urusan makro lebih melibatkan pada faktor sosiokultural (situasional, institusi, serta sosial).

Periode 2003 silam, Seno Gumira Ajidarma memberikan perbincangan yang menarik dalam dunia fotografi. Melalui bukunya yang berjudul “Kisah Mata: Fotografi Antara Dua Subyek: Perbincangan Tentang Ada” Seno mencoba menyetubuhkan antara fotografi dan filsafat. “Fotografi sudah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, namun di Indonesia perbincangan fotografi lebih menyangkut segi-segi teknis dan estetis. Buku ini adalah perbincangan filsafat atas makna fotografi dalam kehidupan manusia”, tulis Franz Magnis Suseno dalam cover belakang buku tersebut.

Potensi kritik foto sejatinya bisa saja tumbuh kembang dalam ruang lingkup lomba foto, sayangnya juri hanya memilih dan menentukan pemenang tanpa meninggalkan jejak catatan kritis yang bisa “dimediakan”. Ada berapa banyak lomba foto yang hanya mengumumkan pemenang?hampir semuanya. Lalu ada berapa banyak lomba foto yang turut serta melampirkan catatan wacana –visual- kritis foto-foto yang masuk dalam perlombaan tersebut, sudah ada?

Catatan-catatan pewarta dalam mereview pameran foto ataupun pengantar yang sering kita baca dalam “katalog” pameran sebenarnya menjadi titik perbincangan kritis yang menarik, sayangnya ia acapkali hanya menjadi catatan “legitimasi” yang habis ketika hajatan (baca: pameran) juga habis. Tak ada keberlanjutan. Justru industrilah yang kemudian menjadi acuan dalam pengkaryaan. Industri senyatanya mengalirkan tampilan-tampilan berorientasi “pasar” yang justru mendangkalkan fotografi itu sendiri. Bagaimana tidak?, tren alat dan tren citraan terus terpelihara dalam rajutan industri media visual semacam majalah foto yang justru cenderung terus “mengabai” pada kritik foto secara makro.

Di negeri ini, fotografi menemukan pasarnya, menjamurnya komunitas foto dengan respon anak muda yang begitu tinggi menjadikan fotografi sebagai gaya hidup. Tentunya faktor gaya hidup inilah yang kemudian menjadi sektor menggiurkan bagi pemasaran teknologi bernama kamera. Kita mengingat bagaimana FOTOmedia hadir dengan menawarkan rubrikasi seputar teknis dan pengetahuan umum seluk-beluk fotografi dasar (antara lain:komposisi, diafragma, kecepatan, film) serta tanya jawab persoalan fotografi (Svarajati, 2013). Konten yang demikian tentunya menjadikannya sebagai “buku babon” bagi para pegiat fotografi. Tren semacam itu terus berlanjut dalam majalah foto yang ada saat ini yang sayangnya masih minim catatan kritis secara makro.

Majalah-majalah foto lebih berorientasi pada tatanan teknis, kritik secara mikro (tips-trik) terus diberdayakan secara massif, tentu saja faktor industri menjadi salah satu landasannya. Kamera menawarkan “prestise”, menawarkan kemampuan teknis yang memudahkan, ulasan produk, dan ulasan karya secara teknik yang tentu saja mengarahkan konsumen pada alat. Pasar menawarkan nilai gaya dan budaya konsumen menyambutnya sebagai nilai gaya dalam kepentingan status ketimbang nilai guna. Dan majalah foto memfasilitasi ini. Ketika ruang tips-trik demikian lebar, maka ruang-ruang bagi kritik foto pun menjadi demikian sempit.

Saya sedang tidak hendak mendeskreditkan perkara mikro (teknik), karena bagaimanapun kritik foto tetaplah berpijak pada pertautan mikro dan makro. Hanya saja kealpaan wacana kritis dalam tataran makro inilah yang justru menjadi bayang-bayang dan secara tak langsung mengeliminir kerja-kerja kebudayaan (visual) dalam ruang representasi, identitas, serta praktik kewacanaanya.

Menyepakati atas apa yang pernah dikatakan oleh M. Gandhi: “I believe in equality for everyone, except reporters and photographers”, maka ketika fotografi memang tidak akan pernah mengenal kesetaraan, maka teknik hanyalah sekadar alat pertukangan yang dibutuhkan untuk menciptakan ketidaksetaraan tersebut, setelah itu? Maka ketika fotografi mampu mengkritisi dirinya sendiri sebagai institusi teks, maka ia akan menyadari bahwa menghamba dan mengkomersialisasikan teknik adalah menawarkan kebanalan, karena fotografi bukan sekadar tawaran teknik, namun wacana juga relasi kuasa. Dan di sinilah sejatinya kritik foto diperlukan. Bukan lagi sekadar memperkarakan tips dan trik serta pesona visual, namun juga wacana serta relasi kuasa yang dihadirkan.

Ketika fotografi mengalami popularitas sebagai budaya massa yang meriah, justru minat dalam kritik foto sedikit terabaikan. Alex Supartono dalam pengantar Jurnal Kalam edisi 24/2007 yang berjudul “Fotografi dan Budaya Visual” mencatatkan dua poin menarik; “Pertama, semakin banyak pembahasan tentang fotografi dari berbagai disiplin—suatu kecenderungan yang pastilah menggembirakan. Namun, dan ini yang kedua, kurangnya minat para fotografer memikirkan dan membahas medium yang mereka geluti—suatu keadaan yang tentu saja meresahkan”.

Dalam catatan pribadi saya, di penghujung 2013, Tubagus Svarajati mencoba membentangkan paparan perihal kritik foto dalam berbagai disiplin, melalui “Photagogos: Terang Gelap Fotografi Indonesia” ia meramu fotografi dalam persetubuhan berbagai bidang dengan gamblang. Dari menyoal ada, psikoanalisis, hingga bab industri media. Seno, Alex, dan Tubagus telah mencatatkan namanya sebagai peletak bibit kritik foto. Tentunya kita terus menunggu bibit-bibit tersebut tumbuh dan menghasilkan bibit baru. Perlu!