Archive | April 2014

Membincang Kritik Foto

Sejak kelahiran daguerreotype pada 1839 silam, tata kehidupan sosial masyarakat menjadi semakin kompleks. Alat foto menjadi simbol “keistimewaan” dalam kelasnya. Teknologi kamera menjadi simbol identitas serta kelas. Keahlian memotret dan “hak” untuk memotret dan dipotret hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Teknik rekam visual terus berkembang, pun dengan wacana yang melingkupinya.

Fotografi (teks-bahasa visual) sebagai praktik dan kekuasaan sosial memuat wacana yang dipengaruhi oleh kondisi sosial. Pun sebaliknya, kondisi sosial juga dipengaruhi oleh wacana. Hubungan resiprokal inilah yang kemudian “menuntut” hadirnya pembahasan di luar perkara mesin (teknik). Dalam hal ini, kehadiran kritik foto menjadi penting dalam melengkapi triadik khazanah fotografi indonesia (sejarah, teori, serta kritik foto). Kritik foto menjadi bagian yang “samar” dari studi fotografi, mengingat sejarah foto maupun teori foto begitu banyak kita jumpai. Seolah kehadiran kritik foto tertimbun oleh ramainya tebaran citra visual yang terus menerus diproduksi.

Sekadar sebagai pengantar sekaligus pembanding, bolehlah jika saya mengutip apa yang pernah dituliskan oleh seorang kritikus sastra, Maman S. Mahayana. Dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia”, Maman mengatakan: “Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalah Poedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu”

Hal seperti itulah yang masih amat jarang kita temui dalam majalah foto di Indonesia, ada berapa majalah foto di Indonesia yang menampilkan ulasan foto secara kritis di luar bab teknik? Mungkin ada, tapi sedikit. Tapi ada berapa majalah foto yang menampilkan ulasan kamera, tips dan trik, atau menampilkan galeri foto dengan kegahan visualnya? Jawabnya: banyak. Hampir semuanya, bukan?

Sastra memulai tradisi kritiknya melalui politik bermedia (majalah) waktu itu. Begitupula dengan seni rupa. Tradisi kritis seni rupa dimulai dengan lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Trisno Sumardjo menyebutkan bahwa PERSAGI menandai lahirnya seni rupa modern dan dimulainya kritik terhadap seni rupa Indonesia.

Tahun 1939, S. Sudjojono (Persagi) menulis sebuah esai bertajuk Kesenian Melukis di Indonesia di majalah Keboedajaan dan Masjarakat (diterbitkan ulang pada 1946 dengan judul Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang dalam buku Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman). Dalam esai tersebut dia menolak seni rupa Mooi Indie yang “semua serba-bagus dan romantis bagai di surga, semua serba enak, tenang dan damai.” Baginya lukisan Mooi Indie tak ubahnya ilusi, tak mencerminkan kehidupan bangsa Indonesia yang sebenarnya, hanya menipu dan mengalihkan kesadaran bahwa bangsa ini sedang dijajah. (Silvia Galikano, Majalah Detik edisi 12, 20-26 Februari 2012)

Jika sastra dan seni rupa menggunakan media untuk memulai dan melahirkan tradisi kritisnya, maka fotografi justru urung melakukannya. Hingar-bingar media foto begitu banyak, majalah foto lahir dengan gagah dan warna yang mentereng, sayangnya catatan-catatan kritis belum “laku” untuk dimunculkan. Kalah saing dengan tampilan visual “bergaya” salon, serta kalah pamor dengan ulasan teknik maupun ulasan perlengkapan fotografi.

Tradisi kritik foto sejatinya sudah berkembang sejak lama. Pembahasan yang dilakukan Barthes mungkin paling populer. Barthes pernah melakukan analisis kritis terhadap sampul majalah berbahasa Prancis: Paris Match yang menampilkan seorang prajurit berkulit hitam dengan pakaian seragam militer Prancis tengah memberi hormat kepada bendera Prancis. Foto ini nampak biasa saja. Namun, kode-kode kultural yang termuat di dalamnya memungkinkan untuk ditafsirkan secara ideologis. Secara konotasi, gambar ini adalah loyalis seorang Prancis kulit hitam yang tunduk kepada bendera Prancis, namun sebenarnya gambar ini melancarkan kritik atas aktivitas imperial Prancis (Barker, 2010). Bahwa Prancis adalah sebuah kekaisaran yang agung, bahwa semua anaknya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan setia berbakti di bawah naungan bendera tri warna, dan bahwa tidak ada jawaban yang lebih tepat untuk pengkritik kolonialisme daripada antusiasme yang ditunjukan oleh sang negro dengan mengabdi kepada apa yang disebutnya sang penindas (Barthes, 1972)

Tidak hanya berpondasi pada sektor semiotik saja, ladang-ladang keilmuan yang lain pun sejatinya membuka jalan yang lapang bagi pengkajian foto. Di luar lingkup akademis, kritik foto belum sepopuler “permainan” teknik foto. Terbukti dengan banyaknya lomba foto yang lebih mengedepankan tampilan visual dengan hadiah menggiurkan. Meski dengan sadar, para panitia penyelenggara foto menggunakan foto tersebut sebagai konstruksi kepentingan dan acap kali dijadikan “kampanye” sosial. Sayangnya, sayembara kritik foto masih “nihil” keberadaanya.

Melubernya citra visual menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya kritik foto di Indonesia, mengingat Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri visual. Tengok saja, berapa banyak anggota klub foto (komunitas) online, berapa banyak pengguna sosial media berbasis foto, serta berapa banyak pengguna DSLR terbitan luar yang eksis di Indonesia. Ironisnya, eksplorasi visual yang dengan gegap gempita hadir belum diimbangi dengan catatan kritis. Mereka lebih suka untuk membincang perkara teknik yang sejatinya sudah mirip tukang.

Anggota komunitas foto cenderung “terjebak” pada estetika salon dalam perkara teknis. Mengutip apa yang dituliskan oleh Tubagus Svarajati dalam Photagogos:gelap terang fotografi Indonesia (2013) “Lantas, jika perkara teknik menjadi tujuannya, yang kemudian melahirkan genre salon, misalnya, tentu saja muncul kegamangan dan kecurigaan dari sana: sebenarnya capaian apa yang hendak diraih dari maksimalisasi teknik fotografi itu? Bukankah teknik sekadar alat bantu mengungkapkan gagasan, pesan, dan makna ke bentuk rupa yang kemudian bisa diartikulasikan sebagai suatu bahasa-bahasa visual, sehingga ia pun layak diperlakukan sebagai sebuah teks? (2013:25)

Komunitas foto menjadi pasar tersendiri bagi mereka para panitia lomba. Sehingga lomba fotopun hanya meriah pada tataran teknis dengan tawaran keterpesonaan visual. Mereka lupa, bahwa di balik pesona visual tersebut ada “ruang gelap” yang sejatinya mengandung muatan wacana yang tidak kalah penting bagi perkembangan fotografi. Sisi-sisi diskursus seketika tenggelam dalam hingar-bingar kemapanan serta kegagahan karya. Kritik foto perlu hadir dalam melengkapi triadik (sejarah foto, teori foto, kritik foto) yang berorientasi pada wacana kritis. Membongkar praktik-praktik kuasa visual di luar masalah teknik.

The Raid 2: Poros Bunawar-Rama

Siapa sejatinya yang paling “berkuasa” dalam The Raid 2?, Rama (Iko Uwais)? Tentu saja bukan. Setidaknya menurut saya pribadi. Rama hanyalah agen dari kuasa tangan kapital, baik sosial maupun simbolik. Salah satu indikasi adanya kekuatan kapital sosial adalah bentuk kerja sama yang melahirkan kepercayaan serta memerlukan pengakuan timbal balik. Hal semacam inilah yang pertama kali terlihat dalam scene antara Bunawar (Cok Simbara) dengan Rama.

Rama begitu percaya dengan keberadaan Bunawar, sebaliknya Bunawar percaya dengan kemampuan Rama. Kuasa kapital dimiliki oleh Bunawar sebagai seorang “atasan” dalam jajaran kepolisian, sekaligus orang yang direkomendasikan oleh Andi (Donny Alamsyah, kakak Rama). Berangkat dari “dalil” Marx yang kemudian saya yakini kebenarannya bahwa ide yang paling berkuasa adalah ide dari kelas penguasa, maka yang paling berkuasa dalam film ini adalah sosok Bunawar. Ia adalah sumber ide, sumber dimana alur mulai dialirkan hingga menuju klimaks. Jika Bunawar adalah “otaknya” maka Rama adalah aparatus dari pemikiran-pemikiran Bunawar.

Kita sedikit kembali pada The Raid 1: Redemption. Di akhir cerita, di sebuah ruang “kendali” yang dipenuhi dengan monitor-monitor pengintai, Andi, tangan kanan dari otak bisnis narkoba bernama Tama (Ray Sahetapi) menyerahkan bukti-bukti kejahatan Tama dan siapa aja yang terlibat.

“….. ini kuncinya, ini akan nunjukin siapa aja yang masuk dalam daftar hitam, gak semua orang yang lo kenal itu busuk, Ram. Lo kasih ke Bunawar, dia orangnya baik”.

Selanjutnya, Bunawar menjadi sosok penting. Ialah yang kemudian membuka alur penceritaan. Rama, sebagai figur utama nan mandiri yang “sengaja” diciptakan untuk menerobos sistem senyatanya hanya menjadi alat peraga dalam konteks sinema. Bunawarlah yang mengatur skenario kemana Rama harus melangkah.

Dalam sebuah ruang, cahaya lampu hanya remang, Rama menemui Bunawar. Rama duduk dengan penuh luka lebam di wajahnya sekaligus menyimpan tanya, harap-harap bahwa Bunawar adalah benar-benar orang yang tepat. Rama menyerahkan kotak berisi bukti-bukti kejahatan Tama. Braaak..dengan sedikit dilempar, kotak itu terpapar di meja.

“nama saya rama”

“Saya tau siapa kamu”, potong Bunawar.

“Abang saya bilang, saya bisa percaya bapak”.

“Abang lo gak salah, lo suka atau tidak suka dengan peristiwa hari ini, Reza dan anak buahnya akan ngincer lo, mereka akan ngincer lo sampe ketemu. Kalau kita gak cepat bertindak, lo bakal hilang, keluarga lo juga.” kata Bunawar

Percakapan awal ini menunjukan bagimana superioritas Bunawar di hadapan Rama. Rama duduk menghadap. Bunawar berdiri dengan dua “pengawal” di samping kanan kirinya. Sebuah relasi kuasa terlihat jelas, bagaimana cara mereka beradu tatap. Bunawar yang tenang, terlihat kuat karena kekuatan pengetahuan yang ia miliki. Kegelisahan terus menghinggapi Rama. Bunawar mulai mengontrol Rama dengan rezim pengetahuan yang ia miliki, tentang kota, mafia, serta tetek bengeknya.

Bukti kejahatan tidak dibuka sedikitpun. Tak ada penjelasan lanjut perihal bukti kejahatan. Kenalaran alur cerita sedikit tereliminir dengan tidak dibeberkannya bukti-bukti kejahatan yang menjadi kunci penutup The Raid 1: Redemption. Bunawar memaparkan skenarionya. Bunawar menjelaskan bahwa keberadaan kota tengah “dikuasai” oleh dua kubu yang kuat, antara Kubu Bangun dengan Goto asal Jepang.

Pada The Raid 1: Redemption, penanaman greget di awali dengan cukup sentimentil. Scene Rama dan sang istri yang tengah hamil tua merupakan adegan yang cukup berhasil sebagai adegan pembuka yang benar-benar tajam. Menjadi pengantar yang terus terbawa dalam konflik-konflik selanjutnya. Penonton terus teringat bagaimana kondisi sang istri. Lembar permulaan penuh dengan sisi sentimentil namun lembar berikutnya penonton digoncang dengan adegan yang benar-benar brutal dalam setting ruang yang gelap, penuh sekat-sekat.

Rama tidak pulang untuk menjenguk istrinya atau melaporkan kondisi kakaknya kepada ayahnya. Saya sempat membayangkan jika ada sebuah scene dimana Rama pulang lalu langsung menuju rumah sakit menemani istrinya melahirkan. Kemudian Bunawar muncul setelahnya, mungkin urat-urat sentimentil penonton akan lebih terbangun. Akan ada nada-nada kesedihan terbangun secara “dramatic”. Ah, tapi sudahlah, sebagai penonton yang baik tidak usah terlalu meminta ini itu dalam adegan yang kita tonton. Harusnya ginilah, harusnya gitu aja lah…ah, seperti anak kecil saja..hehehehehe.., padahal kalo gitu kan keren (cuma mbatin)

The Raid 2 tampaknya ingin fokus pada adegan-adegan berdarah tinimbang memunculkan kembali sisi-sisi sentimentil yang melodramatis. Permainan alur cerita terkesan datar, karena jalan cerita tampaknya bukan menjadi prioritas. Mudah ditebak, dan klise. Keunggulan The Raid 2 yang kemudian menjadi sisi kemenarikan adalah bagaimana konten permainan gerak (pertarungan) yang sangat dominan. Konten seperti ini mengingatkan pada pertunjukan-pertunjukan kethoprak ataupun Sendratari. Penonton sudah bisa menebak jalan cerita, meski dengan versi yang lain sekalipun. Akan tetapi, penonton akan menunggu pola gerak pemainnya. Dramatic gesture menjadi daya tarik tersendiri.

“gue mau lo gabung sama tim gue, lo bakal di latih ulang dengan baik, sampe lo memiliki kemampuan lebih baik, untuk membela kepentingan yang benar”.

“Uco anaknya Bangun, sekarang ada di penjara, ini saat yang tepat buat lo masuk, dekati dia”

Sampai pada titik ini, belum ada kejelasan perihal “kepentingan yang benar”, jika pada bagian sebelumnya ada pembeberan dan penjelas perihal bukti-bukti kejahatan, mungkin “kepentingan yang benar” tersebut bisa terjelaskan secara motif. Tanpa alur yang menanjak (nir emosi), terasa datar. Bunawar menawarkan kerja sama untuk suatu “kepentingan yang benar”. Saya pikir hal ini serasa miskin “cerita”, namun dalam yang miskin tersebut sejatinya muncul kekuatan-kekuatan personal dari diri Bunawar. Ialah sistem. Sistem permainan berada pada diri Bunawar. Rama hanya bertindak sebagai agen, sebagai alat peraga bagi kepentingan kuasa Bunawar. Rama dikirim ke dalam penjara untuk menjalankan misi mendekati Uco (Arifin Putra, anak Bangun), sedang keluarganya berada dalam pengawasan Bunawar dan dipastikan aman. Maka ceritapun berlanjut.

Seperti yang kerap kisa saksikan, film-film dengan setting penjara hampir selalu menampilkan suasana makan bersama, lalu di tengah-tengah adegan makan tersebut akan muncul saling lirik atau saling berbisik. Selanjutnya adegan bersetting toilet, perkelahian, pencarian kubu, siapa membela siapa. Hal semacam itulah yang sering kita saksikan dalam film dengan adegan berlatar penjara dalam genre yang sama. Setting penjara menjadi semacam prasyarat untuk menuju “adegan” yang sesungguhnya, adegan pertempuran “silat” antara Rama dengan musuh utama. Bagaimana tidak, konten penceritaan penjara hanya dihiasai “PDKT” antara Rama dengan Uco. Selebihnya? Biasa saja.

The Raid 2 memainkan sosok Rama sebagai agen tunggal yang serba perkasa. Ia dijadikan sosok tunggal yang melawan sistem dengan dominasi gerak yang rancak. Sebagaimana Rambo, Kellner (2010) pernah membahas Rambo secara poliitis. Rambo mewakili kekuatan pria, kekuatan dan kepolosan Amerika, dan kepahlawanan tempur yang berperan sebagai kendaran berbagai ideologi jantan dan patriotis yang siginifikan dalam era Reagan(isme). Dalam The Raid 2. Rama muncul sebagai sosok dalam ruang yang hampir sama, kalaupun berbeda ya mari kita samakan saja, :D. Ia sebagai sosok yang dicitrakan dengan kekuatan, cerdas, dan tanpa cela. Modal kultural yang dimiliki Iko dengan pencak silatnya benar-benar termanfaatkan dengan baik sebagai nilai jual, Evans (sutradara) mendaya jualkan pencak silat dalam tatanan gerak pertarungan yang berdarah-darah, orang bilang ini “Action!”

Mungkin, sebagian penonton akan terbangkit ketika menyaksikan adegan dar der dor ataupun adegan perkelahian dengan gerak yang eksplosif, meski alur cerita cukup datar. The Raid 2 tampaknya memang di-setting untuk menghadirkan hal yang demikian, tata gerak. Gerak menjadi sebuah representasi “pelepasan” akan kejenuhan. Hal ini tentu saja menarik bagi sebagian penonton, karena tujuan menonton adalah untuk melepaskan kejenuhan. Melihat gerak seperti tengah menyaksikan dan merasakan pelepasan emosi.

Ruang bioskop sebagai simbol modernitas adalah ruang bagi para penonton untuk bersama-sama meletakan mata mereka di hadapan sinema. Dari ragam bidang; pertunjukan, olahraga ataupun seni, gerak menjadi daya tarik tersendiri. Katakanlah dalam Sepak Bola. Bagaimana selebrasi gol seorang pemain menjadi teramat populer dan kemudian ditiru sebagai bentuk “pengidolaan”. Contoh lain, bagaimana ksatria baja hitam melakukan gerak untuk mengubah dirinya menjadi manusia super. “berubah!”, lalu berubahlah Kotaro Minami menjadi Ksatria Baja Hitam, populer, lalu jadilah bahan perbincangan. Semua bersumber pada gerak.

Permainan koreografi cukup rancak, “gen” pencak silat hadir dalam setiap gerak tempur yang mereka sajikan. Pertanyaan menarik, Kenapa harus Indonesia?kenapa harus pencak silat? Salah satu alasannya adalah faktor pasar. Pencak silat cukup mendunia, dan Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Siapa yang menggarap, dimana pertama kali diputar, penghargaan apa yang didapat, rasanya cukup ampuh dijadikan alasan serta obat perangsang yang kuat bagi para calon penontonnya. Alhasil? Jumlah penontonpun tinggi.

Tidak seperti garapan sebelumnya, “Merantau” dan “The Raid 1: Redemption” yang masih disisipi sisi melodramatic cukup kuat. Dalam garapan kali ini, Evans lebih fokus pada eksplorasi gerak (pertarungan) dengan teriakan yang berdarah-darah. Alhasil, saya melihat The Raid 2 sebagai film “horor” yang berisi permainan (tata) gerak. Cukup.

Tentang Foto Jurnalistik

Dalam sebuah acara, terjadi perbincangan yang cukup menarik perihal foto jurnalistik. Seorang bertanya: apa foto ini bisa dikatakan sebagai foto jurnalistik?, foto ini dramatis, foto ini sangat informatif. Lalu teman yang lain menimpali, “kenapa kamu sebut itu jurnalistik? Apa bedanya dengan human interest? Apa menariknya? Itu kan cuma foto keseharian biasa, cuma dokumentasi”.                                                                                                                                                                                         “Di pasar dekat rumahku, hampir setiap pagi aku menemui foto seperti itu”, sahut teman yang lain.

Fotografer memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan “klaim” kategori terhadap foto yang ia hasilkan. Lantas apa sepenuhnya seperti itu? Hemmm…..Saya pikir, dalam melakukan kategorisasi kita perlu menimbang perihal pemahaman umum tentang keberadaan foto tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperkuat citraan sekaligus memberikan jalan yang senada antara maksud fotografer dengan spectator (penonton foto). Pemahaman umum yang saya maksud adalah porsi muatan (visual) yang secara nalar dapat dipahami oleh masyarakat awam secara mudah. Begitu melihat konten foto, spectator dapat dengan cepat menjatuhkan “klaim” atas muatan foto tersebut. “Hemm..oiyaya”, setidaknya muncul peng-iyaan atas judul yang disematkan oleh si fotografer.

Foto beserta kategorinya memang menarik untuk diperbincangkan. Miturut saya pribadi, kategorisasi foto bukanlah sesuatu yang alamiah. Ia hadir atas kuasa si fotografer. Fotografer berkuasa sepenuhnya atas foto yang ia ambil. Kategorisasi bukan serta merta hadir melalui tampilan visual, tapi sudah diawali dari proses ketika ia membidik.

Ada sedikit ganjalan ketika kita membincang foto jurnalistik sebagai kategori. Ah, mari kita obrolkan saja. Apa yang ada di benak dan kita pikirkan ketika mendengar istilah “foto jurnalistik”? Mungkin jawabannya akan sangat beragam; foto yang berbicara, foto yang menyampaikan pesan, dan foto yang memiliki makna, atau bahkan foto yang mengandung berita. Mungkin jawaban semacam itulah yang sering muncul.

Bagi saya pribadi jawaban semacam itu “hanya” serupa dalih dan terlalu mengada-ada. Sejak kapan foto bisa berbicara, terlebih lagi bisa menyampaikan pesan? Ia (foto) hanya benda mati, hanya sekumpulan warna dalam selembar bingkai yang membentuk kesatuan visual secara utuh. Foto hadir untuk dibicarakan, bukan untuk berbicara. Foto yang menyampaikan pesan, foto yang memiliki makna, foto yang mengandung berita? Ah, bukankah sebagai bentuk komunikasi visual foto sudah memiliki makna serta bersifat berita? Selembar foto hadir secara politis, fotografer membidik, membingkai untuk membentuk konstruksi pesan. Dan konstruksi-konstruksi inilah yang kemudian bisa dibicarakan.

Sepakat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Kartono Riyadi, bahwa pada dasarnya foto adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi. Salah satu yang membedakan antara foto jurnalistik dengan dokumentasi adalah terletak pada ruang dimana foto itu berada, apakah foto tersebut dipublikasikan di media massa atau tidak. Jelas, bahwa foto seperti apapun, dari ketegori manapun akan hanya bersifat dokumentasi ketika ia tidak “ter-media-kan” (terpublikasikan melalui “ruang” media). Untuk konsep kekinian, mungkin tidak hanya terbatas pada media massa, lewat jejaring sosialpun pun bisa, sejauh ia didampingi teks informasi. Inilah yang kemudian saya sebut “termediakan”

Seorang Wilson Hick, redaktur majalah life (1937-1950) dalam “world and pictures” (1972) pernah menuturkan bahwa foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir secara bersamaan. Sebaik-baiknya foto, sedramatis-dramatisnya foto ketika ia hadir tanpa teks maka ia hanya sebatas foto dokumentasi biasa, belum bisa dikatakan “bersifat” foto jurnalistik karena ia tidak temediakan dan tidak ada informasi teks yang melengkapinya. Tapi meskipun hanya selembar pas foto, ia bisa saja bernilai jurnalistik ketika dipublikasikan dan dilengkapi dengan teks (5W+1H) dan bisa dipertanggungjawabkan. Bolehlah jika kemudian saya mengatakan bahwa foto jurnalistik adalah sebentuk sifat yang kemudian berisi kategori-kategori. Sifat yang serta merta menempel pada foto ketika foto tersebut memasuki ruang media.

Sebuah kesimpulan coba saya ambil, bahwa segala bentuk  (foto dokumentasi) dan ketegorinya bisa terkonversi dan masuk dalam ruang bernama foto jurnalistik ketika ia termediakan. Foto jurnalistik adalah sebuah lautan yang maha luas, ia bisa menerima jenis foto apapun. Bagaimana kita bisa membedakan ragam foto (human interest, landscape, makro, dsb ) dengan foto jurnalistik? Selain pada sifatnya yang termediakan. Sekian.