The Raid 2: Poros Bunawar-Rama

Siapa sejatinya yang paling “berkuasa” dalam The Raid 2?, Rama (Iko Uwais)? Tentu saja bukan. Setidaknya menurut saya pribadi. Rama hanyalah agen dari kuasa tangan kapital, baik sosial maupun simbolik. Salah satu indikasi adanya kekuatan kapital sosial adalah bentuk kerja sama yang melahirkan kepercayaan serta memerlukan pengakuan timbal balik. Hal semacam inilah yang pertama kali terlihat dalam scene antara Bunawar (Cok Simbara) dengan Rama.

Rama begitu percaya dengan keberadaan Bunawar, sebaliknya Bunawar percaya dengan kemampuan Rama. Kuasa kapital dimiliki oleh Bunawar sebagai seorang “atasan” dalam jajaran kepolisian, sekaligus orang yang direkomendasikan oleh Andi (Donny Alamsyah, kakak Rama). Berangkat dari “dalil” Marx yang kemudian saya yakini kebenarannya bahwa ide yang paling berkuasa adalah ide dari kelas penguasa, maka yang paling berkuasa dalam film ini adalah sosok Bunawar. Ia adalah sumber ide, sumber dimana alur mulai dialirkan hingga menuju klimaks. Jika Bunawar adalah “otaknya” maka Rama adalah aparatus dari pemikiran-pemikiran Bunawar.

Kita sedikit kembali pada The Raid 1: Redemption. Di akhir cerita, di sebuah ruang “kendali” yang dipenuhi dengan monitor-monitor pengintai, Andi, tangan kanan dari otak bisnis narkoba bernama Tama (Ray Sahetapi) menyerahkan bukti-bukti kejahatan Tama dan siapa aja yang terlibat.

“….. ini kuncinya, ini akan nunjukin siapa aja yang masuk dalam daftar hitam, gak semua orang yang lo kenal itu busuk, Ram. Lo kasih ke Bunawar, dia orangnya baik”.

Selanjutnya, Bunawar menjadi sosok penting. Ialah yang kemudian membuka alur penceritaan. Rama, sebagai figur utama nan mandiri yang “sengaja” diciptakan untuk menerobos sistem senyatanya hanya menjadi alat peraga dalam konteks sinema. Bunawarlah yang mengatur skenario kemana Rama harus melangkah.

Dalam sebuah ruang, cahaya lampu hanya remang, Rama menemui Bunawar. Rama duduk dengan penuh luka lebam di wajahnya sekaligus menyimpan tanya, harap-harap bahwa Bunawar adalah benar-benar orang yang tepat. Rama menyerahkan kotak berisi bukti-bukti kejahatan Tama. Braaak..dengan sedikit dilempar, kotak itu terpapar di meja.

“nama saya rama”

“Saya tau siapa kamu”, potong Bunawar.

“Abang saya bilang, saya bisa percaya bapak”.

“Abang lo gak salah, lo suka atau tidak suka dengan peristiwa hari ini, Reza dan anak buahnya akan ngincer lo, mereka akan ngincer lo sampe ketemu. Kalau kita gak cepat bertindak, lo bakal hilang, keluarga lo juga.” kata Bunawar

Percakapan awal ini menunjukan bagimana superioritas Bunawar di hadapan Rama. Rama duduk menghadap. Bunawar berdiri dengan dua “pengawal” di samping kanan kirinya. Sebuah relasi kuasa terlihat jelas, bagaimana cara mereka beradu tatap. Bunawar yang tenang, terlihat kuat karena kekuatan pengetahuan yang ia miliki. Kegelisahan terus menghinggapi Rama. Bunawar mulai mengontrol Rama dengan rezim pengetahuan yang ia miliki, tentang kota, mafia, serta tetek bengeknya.

Bukti kejahatan tidak dibuka sedikitpun. Tak ada penjelasan lanjut perihal bukti kejahatan. Kenalaran alur cerita sedikit tereliminir dengan tidak dibeberkannya bukti-bukti kejahatan yang menjadi kunci penutup The Raid 1: Redemption. Bunawar memaparkan skenarionya. Bunawar menjelaskan bahwa keberadaan kota tengah “dikuasai” oleh dua kubu yang kuat, antara Kubu Bangun dengan Goto asal Jepang.

Pada The Raid 1: Redemption, penanaman greget di awali dengan cukup sentimentil. Scene Rama dan sang istri yang tengah hamil tua merupakan adegan yang cukup berhasil sebagai adegan pembuka yang benar-benar tajam. Menjadi pengantar yang terus terbawa dalam konflik-konflik selanjutnya. Penonton terus teringat bagaimana kondisi sang istri. Lembar permulaan penuh dengan sisi sentimentil namun lembar berikutnya penonton digoncang dengan adegan yang benar-benar brutal dalam setting ruang yang gelap, penuh sekat-sekat.

Rama tidak pulang untuk menjenguk istrinya atau melaporkan kondisi kakaknya kepada ayahnya. Saya sempat membayangkan jika ada sebuah scene dimana Rama pulang lalu langsung menuju rumah sakit menemani istrinya melahirkan. Kemudian Bunawar muncul setelahnya, mungkin urat-urat sentimentil penonton akan lebih terbangun. Akan ada nada-nada kesedihan terbangun secara “dramatic”. Ah, tapi sudahlah, sebagai penonton yang baik tidak usah terlalu meminta ini itu dalam adegan yang kita tonton. Harusnya ginilah, harusnya gitu aja lah…ah, seperti anak kecil saja..hehehehehe.., padahal kalo gitu kan keren (cuma mbatin)

The Raid 2 tampaknya ingin fokus pada adegan-adegan berdarah tinimbang memunculkan kembali sisi-sisi sentimentil yang melodramatis. Permainan alur cerita terkesan datar, karena jalan cerita tampaknya bukan menjadi prioritas. Mudah ditebak, dan klise. Keunggulan The Raid 2 yang kemudian menjadi sisi kemenarikan adalah bagaimana konten permainan gerak (pertarungan) yang sangat dominan. Konten seperti ini mengingatkan pada pertunjukan-pertunjukan kethoprak ataupun Sendratari. Penonton sudah bisa menebak jalan cerita, meski dengan versi yang lain sekalipun. Akan tetapi, penonton akan menunggu pola gerak pemainnya. Dramatic gesture menjadi daya tarik tersendiri.

“gue mau lo gabung sama tim gue, lo bakal di latih ulang dengan baik, sampe lo memiliki kemampuan lebih baik, untuk membela kepentingan yang benar”.

“Uco anaknya Bangun, sekarang ada di penjara, ini saat yang tepat buat lo masuk, dekati dia”

Sampai pada titik ini, belum ada kejelasan perihal “kepentingan yang benar”, jika pada bagian sebelumnya ada pembeberan dan penjelas perihal bukti-bukti kejahatan, mungkin “kepentingan yang benar” tersebut bisa terjelaskan secara motif. Tanpa alur yang menanjak (nir emosi), terasa datar. Bunawar menawarkan kerja sama untuk suatu “kepentingan yang benar”. Saya pikir hal ini serasa miskin “cerita”, namun dalam yang miskin tersebut sejatinya muncul kekuatan-kekuatan personal dari diri Bunawar. Ialah sistem. Sistem permainan berada pada diri Bunawar. Rama hanya bertindak sebagai agen, sebagai alat peraga bagi kepentingan kuasa Bunawar. Rama dikirim ke dalam penjara untuk menjalankan misi mendekati Uco (Arifin Putra, anak Bangun), sedang keluarganya berada dalam pengawasan Bunawar dan dipastikan aman. Maka ceritapun berlanjut.

Seperti yang kerap kisa saksikan, film-film dengan setting penjara hampir selalu menampilkan suasana makan bersama, lalu di tengah-tengah adegan makan tersebut akan muncul saling lirik atau saling berbisik. Selanjutnya adegan bersetting toilet, perkelahian, pencarian kubu, siapa membela siapa. Hal semacam itulah yang sering kita saksikan dalam film dengan adegan berlatar penjara dalam genre yang sama. Setting penjara menjadi semacam prasyarat untuk menuju “adegan” yang sesungguhnya, adegan pertempuran “silat” antara Rama dengan musuh utama. Bagaimana tidak, konten penceritaan penjara hanya dihiasai “PDKT” antara Rama dengan Uco. Selebihnya? Biasa saja.

The Raid 2 memainkan sosok Rama sebagai agen tunggal yang serba perkasa. Ia dijadikan sosok tunggal yang melawan sistem dengan dominasi gerak yang rancak. Sebagaimana Rambo, Kellner (2010) pernah membahas Rambo secara poliitis. Rambo mewakili kekuatan pria, kekuatan dan kepolosan Amerika, dan kepahlawanan tempur yang berperan sebagai kendaran berbagai ideologi jantan dan patriotis yang siginifikan dalam era Reagan(isme). Dalam The Raid 2. Rama muncul sebagai sosok dalam ruang yang hampir sama, kalaupun berbeda ya mari kita samakan saja, :D. Ia sebagai sosok yang dicitrakan dengan kekuatan, cerdas, dan tanpa cela. Modal kultural yang dimiliki Iko dengan pencak silatnya benar-benar termanfaatkan dengan baik sebagai nilai jual, Evans (sutradara) mendaya jualkan pencak silat dalam tatanan gerak pertarungan yang berdarah-darah, orang bilang ini “Action!”

Mungkin, sebagian penonton akan terbangkit ketika menyaksikan adegan dar der dor ataupun adegan perkelahian dengan gerak yang eksplosif, meski alur cerita cukup datar. The Raid 2 tampaknya memang di-setting untuk menghadirkan hal yang demikian, tata gerak. Gerak menjadi sebuah representasi “pelepasan” akan kejenuhan. Hal ini tentu saja menarik bagi sebagian penonton, karena tujuan menonton adalah untuk melepaskan kejenuhan. Melihat gerak seperti tengah menyaksikan dan merasakan pelepasan emosi.

Ruang bioskop sebagai simbol modernitas adalah ruang bagi para penonton untuk bersama-sama meletakan mata mereka di hadapan sinema. Dari ragam bidang; pertunjukan, olahraga ataupun seni, gerak menjadi daya tarik tersendiri. Katakanlah dalam Sepak Bola. Bagaimana selebrasi gol seorang pemain menjadi teramat populer dan kemudian ditiru sebagai bentuk “pengidolaan”. Contoh lain, bagaimana ksatria baja hitam melakukan gerak untuk mengubah dirinya menjadi manusia super. “berubah!”, lalu berubahlah Kotaro Minami menjadi Ksatria Baja Hitam, populer, lalu jadilah bahan perbincangan. Semua bersumber pada gerak.

Permainan koreografi cukup rancak, “gen” pencak silat hadir dalam setiap gerak tempur yang mereka sajikan. Pertanyaan menarik, Kenapa harus Indonesia?kenapa harus pencak silat? Salah satu alasannya adalah faktor pasar. Pencak silat cukup mendunia, dan Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Siapa yang menggarap, dimana pertama kali diputar, penghargaan apa yang didapat, rasanya cukup ampuh dijadikan alasan serta obat perangsang yang kuat bagi para calon penontonnya. Alhasil? Jumlah penontonpun tinggi.

Tidak seperti garapan sebelumnya, “Merantau” dan “The Raid 1: Redemption” yang masih disisipi sisi melodramatic cukup kuat. Dalam garapan kali ini, Evans lebih fokus pada eksplorasi gerak (pertarungan) dengan teriakan yang berdarah-darah. Alhasil, saya melihat The Raid 2 sebagai film “horor” yang berisi permainan (tata) gerak. Cukup.

Tinggalkan komentar