Archive | Januari 2014

Membincang Penonton YKS; Struktur Perasaan yang Tragis Hingga Realisme Emosional

Awal 1980-an, seorang Ien Ang pernah memasang iklan pada sebuah majalah perempuan di Belanda bernama Viva. Isi iklannya kurang lebih begini “ saya suka menonton serial TV Dallas, namun saya seringkali mendapati reaksi-reaksi yang ganjil. Bisakah anda menuliskan dan menceritakan kepada saya mengapa anda juga suka menontonnya, atau kenapa anda tidak menyukainya? Saya ingin mencerna reaksi-reaksi ini dalam tesis saya. Silahkan tulis….”

Dallas adalah salah satu serial TV yang cukup populer di Amerika Serikat. Konon kabarnya serial ini ditonton lebih dari 90 negara, dan di Belanda serial ini ditonton sekitar 50% lebih dari jumlah penduduknya. Di Indonesia? Ah, Tentu saja di tahun tersebut masyarakat Indonesia belum akrab, bahkan belum mengenal betul apa itu sinetron, film pun masih belum semeriah saat ini.

Tak perlu menunggu lama, dari iklan tersebut, Ang mendapatkan 42 surat dan 39 diantaranya berasal dari seorang perempuan. Tak aneh, mengingat majalah tempat ia memasang iklan adalah sebuah majalah perempuan, tentu saja mayoritas pembacanyapun perempuan.

Jika waktu itu sosial media sudah lahir, mungkin saja Ang tidak perlu lagi memasang iklan di media cetak. Ia cukup memposting iklan tersebut dalam mailist, facebook, blog, atau melalui twitter. Dan saya yakin, respon yang akan ia dapat bukan lagi puluhan, tapi ratusan. Mengingat  Ang adalah seorang kritikus yang sudah dikenal sebelumnya. Kapital sosial, budaya, serta kapital simbolik sudah merekat erat dalam dirinya.

Menurut Ang, ketertarikan, kesenangan, atau kebencian terhadap tayangan Dallas berkaitan erat dengan pertanyaan perihal realisme. Realisme yang kemudian menjadi titik berangkat para penonton dalam menemukan sisi “baik atau buruk”. Baik atau buruknya suatu program ditentukan oleh apakah penonton mampu merasakan sesuatu yang realistis -lalu dianggap baik-, atau tidak realistis -yang kemudian dianggap buruk-. Selanjutnya, Ang berpendapat bahwa Dallas dipahami sebagai suatu yang bagus sebagai bentuk contoh “realisme emosional”.

Lalu bagaimana dengan YKS (Yuk Keep Smile)? Serial TV Dallas dan YKS adalah dua genre yang berbeda. Yang membuat keduanya sama adalah sama-sama “melibatkan” penonton. Dallas adalah sebentuk sinetron yang merebak antar lintas negara, sedangkan YKS adalah acara “hura-hura” pengantar tidur. Penonton Dallas tersebar di 90 negara, sedang YKS hanya satu negara dan mungkin sedikit “nyiprat” ke negara tetangga. Jika Dallas “melibatkan” penonton secara tak langsung, dalam artian penonton hanya bisa melihat melalui layar kaca, tapi YKS “melibatkan” penonton dalam ragam ruang yang tersedia, studio maupun layar kaca.

Menonton Dallas ataupun program lainnya adalah sebuah proses selektif, membaca melintasi teks dari denotasi hingga konotasi, merangkaikan pemahaman kita akan diri di dalam dan di luar narasi (Storey, 2010:23). Satu hal yang menarik untuk kemudian bisa diperbincangkan adalah fenomena YKS sebagai tontonan yang melibatkan penonton dan kemudian juga tertonton, dalam artian para penonton turut aktif, turut diberdayakan sebagai “pengisi acara”, keplok-keplok, goyang dangdut, dan semacamnya.

Durasi YKS yang terlalu panjang, hampir 4 jam setiap harinya, membuat sebagian penonton merasa jengah, namun ada saja yang masih bisa enjoy menikmati. Yah, semua kembali pada prinsip dasar menonton. Keberadaan YKS semakin memancing kontroversi. Tayangan “hura-hura” yang dianggap kurang mendidik, dan dianggap kurang memberikan contoh yang baik. Entah apapun landasannya, yang jelas alasan seperti itu juga alangkah baiknya jika dialamatkan pada acara yang lain, yang senyatanya memuat konten yang tak kalah “tak berkualitas”. Petisi, protes, dan teguran dari KPI  akhirnya mendarat telak di “meja” YKS. YKS pun “diharuskan” berhenti tayang. Di sini, saya tidak sedang ingin “terjebak” pada putaran perbincangan bagaimana YKS menjadi kontroversi. Saya lebih ingin memperbincangkan penonton. Yah, penonton.

Posisi penonton dengan segala identitasnya yang cair  memiliki pertautan yang erat dengan apa yang ditontonnya, dan sangatlah mungkin  untuk meluapkan perasaan ketika muncul rasa suka ataupun tidak suka terhadap sebuah tayangan. Bukankah masyarakat penonton adalah masyarakat yang cenderung menginginkan hasrat menontonnya terpenuhi?

Dalam salah satu surat yang ditujukan ke Ang, ada tuturan seorang responden yang menarik untuk dijadikan refleksi dalam melihat “tabiat” penonton YKS. Tuturan tersebut kurang lebih begini; “kadang saya sungguh menikmati saat-saat menangis ketika menonton. Dan mengapa tidak? Dengan cara ini, emosi saya lainnya yang tertahan menemukan jalan ke luar”. (Storey, 2010). Seperti yang dikatakan oleh Ang sebelumnya bahwa “realisme emosional” turut mempengaruhi bagaimana penonton merespon tontonan.

Selalu melibatkan kisah-kisah si artis, artis ibukota, itulah daya tarik ibukota yang penuh gemerlap dalam “hura-hura” ala YKS. Sebagai sebuah tontonan “ibukota”, YKS berada dalam setting dan obrolan yang hampir selalu menawarkan obat-obat “kesendirian” dan “kesepian”. Bernyanyi bersama, berjoget bersama, bahkan teriak-teriak  bersama, dan cara-cara pelampiasan amarah, lalu kesal dengan cara-cara yang saya rasa cukup berlebihan.  Ketika ketegangan mulai meninggi, ketika alur mulai datar dan hambar, maka salah satu dari mereka berseru kepada penonton dan bersiap untuk berjoget bersama. Sungguh!, sudah seperti “penawar-penawar kebosanan” bagi kehidupan mereka.

Melihat salah satu dari  mereka –pemain ataupun penonton- dikerjai, penonton justru tertawa senang. Melihat salah satu dari pemain YKS bersedih, menitikan air mata, penonton justru tertarik. Melihat salah satu pemain YKS dibongkar privasi asmaranya, penonton justru semakin tertarik. Penonton di studio terdiam menanti detik-detik “gong” nya, seperti sedang menyaksikan adu tendangan pinalti.

Jika kegembiraan dan ketertarikan yang ditampilkan oleh penonton YKS adalah karena faktor kebutuhan emosinal, kebutuhan melepas emosi-emosi, sehingga tontonan yang demikian menjadi penyaluran hasrat, maka –bagi penonton di studio- tentu saja adalah sebuah corak masyarakat urban yang cukup miris. Kegembiraan didapat dalam tontonan yang sejatinya bukanlah sebenar-benarnya hiburan, namun penonton melihat segala sesuatunya sebagai bentuk  yang menghibur. Selalu cenderung “mengiyakan” setiap adegan, entah apa yang ditampilkan. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai “realisme emosional”, seperti yang dikatakan oleh Ang.

Realisme yang menghubungkan secara emosional antara “kepemilikan” penonton dengan “kepemilikan” apa yang ditonton. Kepemilikan masalah hidup, kepemilikan yang sama dengan situasi social dimana mereka berada, dan mungkin kesamaan dalam menyikapi setiap masalah. Mereduksi empati untuk memunculkan “simpati” yang lain dengan dalih menghibur, entah menghibur siapa. Kita semua paham tentang apa yang dimiliki YKS bukan? Sesuatu yang membuat para penonton “tertarik”, dan betah berlama-lama untuk menontonnya.

Menarik jika mencermati apa yang diutarakan oleh Ang, bahwa dengan adanya cara yang Dallas mainkan bersama emosi dalam sebuah permainan rebutan kursi dengan diiringi musik yang tak ada habisnya, dimana kebahagiaan niscaya memberi jalan bagi kesengsaraan. Ang menyebut hal yang demikian sebagai “struktur perasaan yang tragis”.

Kehadiran kombinasi unsur-unsur naratif, musik, ataupun melodramatik turut serta membangkitkan struktur perasaan yang tragis. Modal  kultural yang sebelumnya telah didapatkan di luar tontonan kemudian kembali dibangkitkan dalam menonton. Ketika kita menyaksikan YKS, kita akan mendapati bagaimana penonton selalu antusias tertawa lalu berjoget, entah apa yang sedang ditampilkan, bahkan ketika melihat si pemain kesakitan, takut, atau bahkan ketika sedih. Mereka selalu begitu. Yah, Struktur perasaaan yang tragis.