Archive | September 2015

Menonton Pameran Foto: Mencatat Kisah dan Drama dari Panggung Laut.

Mengawali catatan ini saya teringat H.F Tillema, ahli obat asal Semarang yang juga dianggap sebagai bapak pendiri fotografer modern Hindia Belanda. Dalam uraian yang disampaikan Mrazek (2006), Tillema menyusun Kromoblanda yang penuh dengan foto-foto. Ia membuat foto, menggolong-golongkan, dan menyimpan foto tersebut disemacam daftar “pusat foto”. Kromoblanda tersebut dimaksudkan sebagai “catatan perjalanan”.

Mrazek dalam Engineers of Happy Land; Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni berujar “dua mata sering tidak cukup untuk mengawasi mereka”, (2006: 145). Maka bolehlah jika kemudian saya memaknai bahwa fotografi selain berfungsi sebagai media rekam juga menjalankan fungsinya sebagai “pengawasan”, dengan kata lain: kontrol sosial hadir di dalamnya. Bukankah dengan melihat foto, kita tidak sekadar menyaksikan, namun juga memaknai akan hadirnya objek foto. Termasuk apa yang kita rasakan ketika mengunjungi sebuah pameran (foto).

Memindahkan objek ke dalam foto adalah upaya dalam membentuk realitas. Menghadirkan citraan, juga membangun hubungan subjek-objek, antara yang memotret dan yang dipotret. Jika mengunjungi pameran foto adalah sama halnya dengan tamasya dalam perpustakaan visual, maka di dalamnya kita akan mendapatkan data visual dari perjalanan para fotografer. Pameran foto Nusa Bahari yang digelar 1-9 September 2015 di Bentara Budaya Yogyakarta menghadirkan kisah laut dengan rupa-rupa drama di dalamnya. Laut memang panggung drama. “Berupa-rupa drama terjadi di atas panggung laut. Drama pengungsi rohingnya misalnya”, seperti kata Sindhunata dalam pengantar pameran.

Kita bisa menemui 165 lembar foto yang terpasang rapi di masing-masing sudutnya. Termasuk apa yang disinggung Sindhunata dalam pengantar pameran tersebut, pengungsi Rohingnya. Bagi mereka, laut bukan sekadar panggung, laut adalah jalan. Laut seakan adalah “jalan tol” yang boleh mereka tempuh untuk membebaskan dirinya dari segala penderitaan, penistaan yang mereka alami di negerinya sendiri. Laut adalah sarana yang disediakan alam bagi mereka untuk mencari kebebasannya (Sindhunata, 2015).

Anak-anak Rohingnya ditampilkan sebadan penuh. Dengan atribut papan nama serta berlatar angka-angka penunjuk tinggi badan. Tak ada foto yang melihatkan perjalanan mereka, pun tak ada foto yang menghubungkan mereka dengan laut. Tanpa adanya teks pendamping, mungkin saja kita akan terjebak pada tafsiran yang aneka rupa, jauh dari maksud. Untungnya, kehadiran teks (keterangan foto) pada foto jepretan Ulet Ifansasti ini telah memberikan jalan dalam menafsir foto.

Ulet, dalam salah satu keterangan fotonya menuliskan: “pengungsi Rohingya, berpose saat menjalani proses identifikasi di tempat penampungan sementara di Kuala Langsa, Aceh (18/5/2015). Ratusan pengungsi Rohingnya tiba di Indonesia pada 15 Mei 20015 dan mereka membutuhkan layanan kesehatan. Ribuan pengungsi lainnya diperkirakan masih berada di lautan karena sejumlah negara tidak bersedia menampung mereka. Komunitas Muslim Rohingnya di Myanmar sudah sejak lama dimarjinalkan oleh sebagian besar masyarakat Budha negara tersebut”. Di sinilah kekuatan teks, seperti yang disebut Hall (1973) sebagai a preffered reading. Kata-kata sebagai materi historis berdaya mengarahkan sekaligus membimbing kita menuju pada makna foto.

Anak Rohingnya, Ulet Ifansasti

Anak Rohingnya, Ulet Ifansasti

Dari 10 foto yang ditampilkan, delapan di antaranya menghadirkan sosok anak-anak tanpa orang lain di sampingnya. Polos, sedikit senyum dengan kedua tangan memegang papan informasi yang berisi kolom nama, umur, pekerjaan, dan juga alamat. Jika pekerjaan seseorang adalah simbol kepemilikan kapital yang bisa diartikan secara politis melibatkan kelas (sosial), maka dengan menampilkan pose anak-anak dengan segala keluguan dan kepolosannya mampu mereduksi “keterlibatan” kelas dalam foto-foto tersebut. Ada yang menarik untuk ditilik lebih jauh, dalam foto Syohid (2 tahun), ia menangis meronta dalam gendongan, sedang perempuan yang menggendongnya penuh tatapan kosong memegang papan identitas yang diberikan petugas.

Komposisi semacam ini memang memiliki kesan lebih sederhana jika dibandingkan foto berkategori “human interest” lainnya. Saya mengamini apa yang pernah diutarakan Barthes, sesederhana apapun sebuah foto, Ia seperti menghadirkan sebuah kebenaran, kebenaran akan sebuah kehadiran. Dan kehadiran dalam hal ini tidaklah alamiah, namun ada pembentukan, ada konstruksi dan ada relasi ruang antara fotografer dan objek foto. Bagaimana medium fotografi dijalankan untuk memperoleh data visual para pengungsi.

Galeri Nusa Bahari terbangun atas beberapa fragmen. Terbangun “Sekilas misteri, kisah, dan drama kehidupan dari laut”, seperti yang dituliskan Sindhunata sebagai judul pengantar pameran. Selain rentetan foto anak-anak Rohingnya, masih ada 155 foto lain yang menarik untuk di simak. 155 foto tersebut terbagi dalam 31 fragmen yang coba dikisahkan, mengenai: Anak Pantai, Belah Kapal, Biota Bawah Laut, Hiu, Hut RI, Ibadah Laut, Kampung Tenggelam, Kapal Pinisi, Mangrove, Bumi Gora, Pantai Timur Indonesia, Pemandangan Laut, Pembuatan Kapal, Pulau Komodo, Reklamasi, Dampak Bencana Laut, Sand Boarding, Surfing Pantai Selatan, Tentara Pertahanan, Terumbu Karang, Tuan Ma, Biota Sekitar Laut, Tumpahan Minyak, Ubur-ubur, Wanita, Wisata, Nelayan, Sedekah Laut, Olahraga Bahari, dan Suku Lingga

Dari sekian banyak foto yang dipajang, ada satu foto yang cukup menarik untuk diperbincangkan, foto “Anak Pantai” karya Agung Kuncahya (Xinhua). Jika Anda memasuki ruang pameran, maka Anda akan menemui foto tersebut di baris-baris awal. Penempatan ini cukup berhasil dalam membangun konstruksi tentang drama kehidupan laut. Tentu saja ini menyangkut psikologi penonton foto, bahwa penampakan (visual) yang pertama kali diamati akan berpengaruh pada pengamatan-pengamatan selanjutnya. Cukup lama saya berada di depan foto tersebut, sambil sesekali mengingat apa yang ditulis oleh Sindhunata dalam pengantarnya.

Jpeg

Anak Pantai, Agung Kuncahya

Selain mengabadikan momen sebagai data visual, fotografi juga mampu menciptakan momen. Karena apa yang ditangkap oleh kamera bukanlah sesuatu yang alamiah. Ada pengonstruksian, pose-pose yang tercerai dengan objeknya, seperti kata Barthes bahwa ketika seseorang berpose di depan kamera maka ia membuat tubuh lain bagi dirinya, menderita ketidakotentikan, karena diri dan citra-diri diceraikan oleh fotografi.

Dengan format hitam putih, foto tersebut menggambarkan sosok gadis kecil berambut sebahu, duduk di atas tatanan bambu yang menjorok ke laut, di dekatnya ada bambu berukuran agak besar menjulang tepat di atas pelipis matanya. Pandangan mata menerawang jauh, terlihat kosong. Mungkin bisa ditafsir: ada angan dan harapan tentang kehidupan mendatang sebagai anak pantai. Dalam keterangannya, Agung menjelaskan bahwa foto tersebut diambil di pinggir pantai yang tercemar, kawasan Cilincing, Jakarta Utara, 2012 silam. Selain mengarahkan pada proses pemaknaan, teks -dalam bahasa Barthes- juga berfungsi sebagai “pengait” yang secara sederhana memberikan acuan kepada kita foto tentang informasi-informasi dalam foto.

Kesan apa yang kemudian kita dapat dalam melihat format hitam putih yang ditawarkan Agung? Akan banyak jawaban, dan yang paling lumrah, –mungkin- kita akan menjawabnya “agar lebih dramatis”. Keterhubungan foto dengan teks yang menyertainya amatlah erat, seperti parasit. Menempel dan berpengaruh. Di jelaskan bahwa foto tersebut “bercerita” tentang wilayah pantai yang tercemar. Lebih jauh, citraan format hitam putih dengan sedikit “grain” bisa diasosiasikan sebagai perwujudan kawasan yang tercemar. Kita bisa membayangkan jika format foto tersebut berwarna, dengan langit yang membiru dan awan yang menggurat halus. Akan ada kesan segar. Maka jelas, dalam sifatnya (foto) yang polisemi, teks mampu memberikan acuan mengenai informasi serta mengarahkan dalam proses pemaknaan.

Tak jauh dari anak perempuan tersebut, beberapa anak laki-laki bersuka ria mandi di pantai, melompat dengan riangnya. Ada dua ekspresi yang saling berlawanan: antara yang kosong dan yang ceria. Mereka yang bersuka ria melompat sembari menghadap kamera, ada “eksyen”, objek menjadi tak lugu lagi. Sebagai media (visual), fotografi mampu membentuk objek sedemikian rupa sesuai kehendak fotografer untuk membangun penceritaan. Dan inilah drama dari panggung laut. Ada keceriaan, ada tatapan, dan ada juga kisah yang dihadirkan.

Akhir kata, bolehlah jika saya berpendapat bahwa dalam ruang pameran ini ada catatan tentang kebaharian. Catatan tentang laut beserta ragam yang terkandung di dalamnya. Dan yang kemudian menarik ditunggu adalah keberlanjutan dari catatan (visual) ini. Apakah hanya akan berhenti sebagai catatan –saja- atau akan ada langkah-langkah strategis menyangkut kebaharian kita.