Archive | Februari 2014

Wajah dalam Dompetmu

Dompet. Ku buka, ku liat isinya. Ah, rasanya belum ada kemerdekaan di sore ini, tak ada wajah-wajah proklamotor berbaris rapi. Ah, Dompet.

Bukalah dompetmu, maka rupa-rupa wajah akan kau temukan disana. Mulai wajah terkasih hingga wajah kusam di lembar KTP. Menyimpan wajah sama artinya kita tengah menyimpan rasa untuk kemudian menghadirkan kembali melalui tatapan. Apa yang kita rasakan ketika menyaksikan wajah Pattimura terpampang garang di dalam dompet tentu saja berbeda ketika kita menyaksikan raut wajah I Gusti Ngurah Rai atau menyaksikan sepasang wajah proklamator (Soekarno-Hatta).

Mari lupakan sejenak wajah Pattimura ataupun wajah Soekarno-Hatta. Kita bicarakan saja wajah-wajah yang terkasih. Wajah yang diam-diam menyelinap dalam kalbu lalu kemudian menggelayut erat sampe ke pelupuk mata. Barthes, seorang semiolog necis perancis pernah begitu terpaku ketika menyaksikan selembar foto yang sudah usang. Perasaannya membuncah. Dalam “camera lucida” ia pernah membahasakan perasaannya yang begitu dalam ketika menyaksikan foto tersebut.

Suatu ketika, di apartemennya, Barthes menyaksikan kumpulan foto lama kepunyaan Ibunya. Foto demi foto ia saksikan dengan cermat, hingga perhatiannya terhenti pada sebuah foto. Ia saksikan dalam-dalam foto tersebut.  Foto yang ia sebut sebagai The Winter Garden photograph  itu adalah foto ibunya ketika berumur 5 tahun (tahun 1898). Dalam foto itu, sang ibu tengah berdiri di dekat sebuah jembatan kecil  bersama seorang lelaki. Lelaki tersebut adalah  kakaknya sendiri  yang berusia 7 tahun.  Begitu melankolisnya Barthes waktu itu. Ah, foto memang terkadang bisa menjadi sangat tajam.

Matanya bergerak tajam menerobos kumparan visual yang terhidang di hadapannya. Kumparan tersebut, kemudian serasa hidup. Ia memasuki alam paling sensitif dari diri seorang manusia. Benda mati tersebut (foto) pelan pelan hidup layaknya zombie. Zombie yang dengan agresif merasuk dalam alam interpretasi dan serta merta memainkan perasaan Barthes. Barthes seperti menemukan sosok ibunya kembali.

Bukalah dompetmu, lalu temukan foto terkasih bagi dirimu. Wajah-wajah beku akan begitu cair ketika kita hirup dalam-dalam. Perhatikan setiap sudut foto yang kau saksikan lalu rasakan sudut-sudut itu. Secara perlahan, ia akan membangkitkan apa yang sering kita sebut sebagai kenangan.

Membaca foto merupakan perjalanan paling personal, karena hanya kita yang tahu dan hanya kita yang bisa merasakan bagimana sebuah foto mengantarkan kita ke dalam ruang penuh emosi. Perjalanan dari studium ke punctum seorang penikmat sekaligus penonton foto, atau sebut saja  spectator.

Di saat kita menyaksikan wajah dalam selembar foto, kita akan menjatuhkan putusan atas keseluruhan yang kita lihat. Antara suka atau tidak suka. Lalu kita  memutuskan terjemahan yang sesuai, yang kita kehendaki, maka itulah yang kemudian dikatakan sebagai studium. Darinya perjalanan dimulai untuk lebih menelisik simpul-simpul yang hadir dari wajah. Simpul detail nan rinci,  gesture yang tertangkap kamera hingga guratan senyum dengan pipi merona, yang terperinci inilah yang kemudian oleh Barthes disebut sebagai punctum.  Perjalanan menuju punctum adalah sebuah proses perjalanan dimana “rasa” yang pernah singgah dari apa yang pernah kita saksikan kembali muncul secara mendetail. Punctum memberikan sebuah daya tarik, serta ilusi mengapa seseorang terus menerus memandang atau bahkan mengingat untuk kemudian membahas dan membahasakan foto tersebut.

Dan foto hanyalah benda mati, ia hanya sebentuk lain dari diri yang terobyekan. Percayalah, foto tak bisa berbicara seperti yang mereka katakan, tapi foto selalu bisa untuk dibicarakan. Wajah adalah titik dimulainya perjalanan dari stadium menuju punctum. Karena wajah adalah gerbang dimana kita bisa merayakan kenangan.

Oiya, di dompetmu ada foto siapa? Pattimura atau Soekarno Hatta? Atau hanya pas foto yang tampak kucel di selembar ktp? Yah begitulah wajah, ia semacam gerbang pengingat.