Tiga Titik dalam Fotografi: Teori, Kajian, dan Sejarah Foto

Setiap berkunjung ke toko buku, Saya selalu menyempatkan untuk mencari atau sekadar melihat-lihat buku-buku fotografi melalui komputer. Tak banyak yang saya temukan. Sebagian besar, buku-buku foto yang saya temukan didominasi oleh buku-buku yang membahas bab teknik maupun tips dan trik.  Sekilas terasa biasa saja, mengingat Indonesia menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya industri visual bernama fotografi. Fotografi bukan lagi barang mahal. Siapapun bisa mendapatkan kamera, siapapun bisa memotret, dan siapapun bebas mengunggah karya foto ke media yang dimiliki. Saling bertukar tips menjadi hal yang lumrah dan jamak kita temui di perbincangan seputar fotografi.

Namun apakah akan selamanya fotografi hanya  membicarakan bab yang demikian? Tentu saja jawabnya bisa panjang, bisa pendek. Bisa rumit, bisa juga sederhana.  Jawaban sederhanya: Perbincangan mengenai bab teknik perlu dilakukan dalam proses kreatif menciptakan sebuah karya. Lantas setelah foto itu jadi? Sekadar dikonsumsi kah? Setelah dikonsumsi? Lantas, apakah dalam olah visual tidak ada wacana-wacana sosial yang mempengaruhi? Apakah ketika produk visual (foto) itu jadi akan berdiri sendiri dan bebas nilai? Nah, jawaban yang tak sederhana akan muncul dari pertanyaan terakhir yang saya tuliskan tersebut.

Buku Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita karya Taufan Wijaya yang akan kita perbincangkan ini menarik. Dalam hal ini, saya lebih ingin menempatkan buku ini dalam perbincangan mengenai teori dalam fotografi. Jika kita runut ke belakang, fenomena dalam arena fotografi sangatlah kompleks. Fotografi mampu secara tajam mengkonstruksi realitas, dan dalam beberapa hal berfungsi sebagai kontrol sosial. Fotografi juga menjadi pertanda kemeriahan pesta-pora modernisasi. Gampangnya, fotografi hadir sebagai simbol masyarakat modern. Sayangnya, fenomena semacam ini tidak diimbangi dengan keberadaan buku-buku teori.  Kita seolah terjebak pada sesuatu yang teknis, dan abai pada definisi-definisi dan pengertian mendalam mengenai foto itu sendiri. Ketika teknologi semakin berkembang dan genre-genre dalam fotografi juga terus berkembang, tapi tidak diimbangi dengan “sebuah” pegangan dan patokan yang jelas, jangan-jangan selama ini,  mereka di luar sana (para pegiat kamera) hanya melakukan sesuatu yang –mereka anggap menyenangkan- tapi tidak bisa menjelaskan apa yang telah mereka produksi. Fenomena semacam ini tentu saja bukan kabar yang menggembirakan bagi fotografi Indonesia. Di sinilah buku teori itu perlu dihadirkan.

Melalui teori kita dapat melakukan kajian terhadap suatu karya foto. Teori muncul karena telah diadakan pengamatan terhadap objek visual, dan teori dapat berkembang sesuai perkembangan  fenomena fotografis yang ada.   Hubungan antara teori, kajian, dan sejarah dalam arena fotografi tidak bisa dipisahkan. Dengan melakukan kajian, diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi penyusunan sejarah juga perkembangan teori yang ada dalam fotografi. Sebaliknya, kajian bukan hanya saja memerlukan teori, namun juga –dalam beberapa hal- memerlukan referensi dari sejarah sebagai titik berangkat.

Saya ingat salah satu buku foto karya Olivier Johannes Raap: “Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe”. Buku tersebut berisi ratusan kartu pos dengan objek foto  masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Uraian-uraian yang ia sampaikan mampu menyusun dan melakukan kategori atas foto-foto yang ada pada waktu itu. Contoh lain bisa kita dapati dalam buku yang sedang kita bahas ini. Dalam salah satu bagiannya, Taufan melampirkan foto cerita “Jakarta Masa Lalu” di harian Kompas edisi Minggu 29 Juli 2012 karya Agus Susanto. Juga bisa kita dapati pada halaman 26, mengenai foto cerita “ Sang Instruktur” yang dimuat dalam majalah Readers Digest Indonesia Edisi Desember 2006. Karya-karya foto tersebut, selain menampilkan visual juga mampu menyusun hadirnya sejarah foto indonesia. Selain mampu menyusun sejarah pada genre foto cerita, foto-foto tersebut juga memuat wacana visual yang berkembang pada waktu itu.

Sebagai buku teori,  buku karya Taufan Wijaya ini berusaha melakukan definsi serta batasan dan aturan main dalam membuat sebuah foto cerita. Tentunya literasi seperti ini perlu sebagai panduan dalam penyusunan karya dan sebagai acuan dalam pengkajian fotografi. Dengan adanya teori kita bisa memahami alur penceritaan serta bagaimana foto itu disusun. Dalam prakatanya, Taufan mengutarakan bahwa banyak fotografer menemukan foto cerita di koran atau majalah dan menganggap semua bentuknya sama. Padahal foto cerita disajikan dalam tiga bentuk umum, yaitu deskriptif (descriptive), naratif (narrative), dan foto esai (photo essay)

Masing-masing dari bentuk tersebut memiliki corak khas serta memiliki titik poin penekanan yang berbeda. Pola-pola penceritaan membutuhkan kekuatan wacana. Mirip-mirip ketika kita membuat karya sastra, entah puisi, cerpen, maupun novel. Kekuatan unsur instrinsik dan ekstrinsik tentu saja diperlukan.

Selanjutnya, mengomentari satu yang khas dan “mutlak ada” dalam foto cerita: keberadaan teks. Teks mampu meningkatkan daya penceritaan sebuah foto. Barthes, pernah menuturkan mengenai peran kata terhadap gambar amatlah penting, ia menggunakan istilah pengait/jangkar ( achorage) untuk menggambarkan fungsi kata-kata untuk menjadi narasi. Barthes berpendapat bahwa gambar visual bersifat polisemi dan kata-kata membantu “menetapkan” atau dengan kata lain mengarahkan terhadap pembacaan. Inilah yang kemudian oleh Stuart Hall (1973) disebut sebagai “a preferred reading”. Kata-kata membimbing/mengarahkan terhadap pemaknaan sebuah foto. Hubungan antara teks dan visual bersifat resiprokal, keduanya saling terikat juga saling mendukung dalam pembentukan makna. Keberadaan keterangan foto (caption) adalah sesuatu yang penting, ia bukan saja akan berdaya dalam memberikan pengarahan, namun juga mampu membangun konstruksi, karena tekslah yang kemudian memunculkan/melengkapi informasi mengenai fakta-fakta (sosial) yang tidak muncul dalam sebuah foto. Melalui tekslah kita akan mendapati fakta sosial secara utuh. Teks menguatkan materi visual sekaligus mengarahkan pada pembacaan yang lebih sahih.

Sebagai penutup, bahwa fotografi bukan sekadar urusan menekan tombol shutter, fotografi lebih dari sekadar perangkat kamera.  Pengamatan wacana visual, serta pemahaman teori perlu dilakukan. Teori mampu memberikan kemudahan untuk memahami objek. Akan tetapi, yang perlu kita ingat, bahwa teori bukanlah sesuatu yang “tetap”. Bukankah tidak ada teori yang betul-betul lengkap?, selalu ada celah dan ia (teori) selalu membutuhkan perbaikan terus menerus sesuai perkembangan fenomena yang ada. Tentunya dengan hadirnya buku ini (Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita ) telah menghidupkan literasi dalam fotografi dan membuka wacana serta mampu membangkitkan perbincangan yang lebih menarik lagi seputar fotografi. Salam.

* Catatan ini digunakan sebagai modal diskusi buku “Photo Story; Panduan Membuat Foto Cerita” Karya Taufan Wijaya. (Jakarta: Gramedia, 2016). Di selenggarakan di FSR ISI 15  Oktober 2016

Tinggalkan komentar