Archive | Juli 2013

Sepanjang pantai, sepanjang itu pula ombaknya berbuih

Sepanjang pantai, sepanjang itu pula ombaknya berbuih

Apa yang dikenang dari selembar pantai jika bukan ombak dan senja?, keduanya merangkai garis dimensi dalam ruang romansa di saat senja sedang ingin bersetubuh dengan cakrawala. Bahwa pantai selalu bercerita tentang kejar dan pelarian ombak, dan juga tentang angin senja

Balada Biduanita dalam Perayaan

Panggung nan kecil itu memang tak semegah pertunjukan musik kelas atas, atau pertunjukan grup band yang  tengah melangsungkan tour keliling kota. Kostumnya pun tak begitu glamour, tak ada jambul khatulistiwa ala Syahrini atau semacamnya. Yah..hanya busana pentas yang pas-pasan, hanya MC dan penyanyi saja yang terlihat mentereng dengan busananya. Pemain musik yang lain hanya menggenakan seragam apa adanya. Dangdut!, atau lebih dikenal dengan dangdut koplo ini memang menjadi fenomena yang menarik, terlebih lagi acara ini menjadi sebuah konsumsi penonton yang menuntut penontot untuk “turut” serta aktif salah satunya dalam bentuk nyawer.

Lampu panggung yang gemerlap beraneka warna dengan asap mengepul dari tiap pojok panggung menambah kesan makin semarak. Penonton mulai riuh  ketika seorang lelaki paruh baya dengan berpenampilan necis menuju tengah panggung dengan memegang microphone seraya berkata, yah…kita sambut penampilan dari Suci Saharani”, ditambah aksen kuat pada konsonan ‘r” dengan suara yang lantang. Lantunan suara musik dari keyboard dikombinasi dengan suara kendang mulai menghentak. Sang biduan pun naik  panggung, seorang perempuan cantik, langsing bak model dengan memakai busana super mini dan super ketat.

Seperti sudah menjadi pelabelan bagi penyanyi dangdut, penampilan mereka sudah terpatri dalam realita penonton bahwa kesan seksi dan minim harus “tersedia”. Bisa dikatakan bahwa inilah bentuk stereotipe dalam dunia panggung. Sebagai ujung tombak pertunjukan dangdut, seorang biduan dengan tubuhnya berusaha menarik penonton yang didominasi kaum lelaki untuk tetap bertahan sampai pertunjukan selesai dan tentu saja sawerannya pun diharapkan akan terus mengalir deras.

Musik intro masih mengalun pelan, namun penonton sepertinya sudah tak sabar untuk memulai berjoget. Sang biduan pun menyapa penonton dengan nada lantang nan kenes. Keriuhan penonton semakin menjadi-jadi, ketika sang biduan mulai bergoyang. Musik masih mengalun pelan. Diawali dengan intro yang cukup panjang mengiringi “orasi” sang biduan untuk mengajak penontonnya bergoyang. Iringan suara seruling, kendang dan gitar mengalun riuh ditambah suara genit sang biduan. Lelaki yang bertugas sebagai M.C pun tak mau kalah dengan melontarkan kata-kata genit pula.

Tampaknya hal seperti ini sudah menjadi  semacam simbiosis mutualisme, penonton dan yang ditonton menjadi sebuah kesinambungan yang alami. Bahwasanya keberadaan penonton dalam dangdut berfungsi melancarkan  pertunjukan sebagai sebuah tontonan. Selain itu dengan suasana yang cair, tanpa batas yang jelas, penonton bisa ikut bergoyang di panggung bersama sang biduan.

Dangdut memang sedikit identik dengan masyarakat pinggiran. Namun dangdut yang acap kali mentas dari panggung ke panggung, dari hajatan ke hajatan, bukanlah dangdut yang alami, dalam artian dangdut sebagai musik joget telah mengalami pergeseran, terutama yang berada dalam tataran panggung, atau yang dikenal dengan sebutan dangdut koplo, atau lebih kerennya dangdut house music.  Sebut saja Sanjaya, Monata, Sera, Palapa atau yang lain, semuanya mengusung motif yang hampir sama, lagu remix, dan tentu saja dengan biduanita yang agresif.

Dangdut, perayaan, dan eksotisme.           

Sedikit menyitir apa yang dikatakan oleh Mulvey, bahwasanya sosok perempuan  bukanlah pencipta makna tapi pembawa makna, dalam hal ini sang biduanita memiliki posisi dalam peranan yang dibentuk oleh laki-laki. Laura Mulvey dalam tulisannya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1974), mengungkapkan bahwa perempuan merupakan objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki sebagai objek imajinasi serta fantasi seksual atau sebagai objek “Sensual Pleasure” laki-laki. Walaupun demikian, keberadaan perempuan tidak dapat dihapuskan dari sistem masyarakat patriarkal. Untuk dapat disebut sebagai pihak yang dominan, laki-laki membutuhkan perempuan untuk tetap melanggengkan kuasa kelelakiannya. Laki-laki dapat mewujudkan semua fantasi dan obsesinya dengan adanya perempuan, sementara perempuan masih terbelenggu dengan statusnya sebagai pembawa makna.

Dalam ranah pertunjukan, tubuh perempuan (biduanita) menjadi berada pada posisi yang lebih startegis secara ekonomi, politik dan budaya,hal ini menjadikan perempuan berada pada posisi yang secara tidak langsungberpotensi untuk “diatur”, mungkin bisa dibilang sebagai bentuk komodifikasi pekerja. Tuntutan manggung, dan tuntutan penampilan membuatnya semakin berbalut eksotisme. Relasi seksual berkerja dalam sistem pemaknaan bahwa selama ini ia didikte oleh pemahaman dari kacamata laki-laki atau nilai-nilai patriakal, seolah-olah mereka berpenampilan hanya untuk lelaki, hanya untuk memenuhi hasrat mereka sebagai penonton. Eksistensi tubuh perempuan menjadi sesuatu yang “dipentingkan” secara sosial dan ekonomi. Jelasnya kepentingan panggung, penghajat dan penyawer yang di dominsai laki-laki, dan perempuan yang berperan sebagia biduanita harus mengikuti selera mereka kalau inggin tetap mentas dan laku,menjadikan mereka sebuah tubuh yang tersistem secara ekonomi.

Bisa dikatakan perempuan sebagai biduanita adalah sosok yang cukup menggebrak, sama halnya  fenomena Madonna pada kisaran ahun 1980-an. Dunia entertainment terhentak, seolah mendapatkan momentum baru ketika seorang Madonna tampil sebagai artis dengan genre yang melawan pakem. Sebagai seorang penyanyi dan artis, Madonna tampil dengan simbol-simbol tak lazim. Salah satunya melaui lirik-lirik lagunya yang hampir selalu nyerempet-nyerempet pada ranah erotisme seksual. Lebih dari itu, ia pun dengan penuh percaya diri tampil dalam berbagai pose yang bisa dibilang erotis.

Melalui keberaniannya tersebut, alhasil nama Madonna menjadi simbol baru dalam jagat hiburan. Itulah tonggak ketika “ketelanjangan” tubuh perempuan menjadi sebuah ironi  yang selalu diasosiakan dengan seks, dan hal tersebut mulai mengisi ruang-ruang publik yang bernama layar, mula-mula layar lebar kemudian merembet ke layar kaca. Salah satu video musik awal madonna, Lucky star, menampilkan madonna sebagai objek seks yang sangat seksi, penari energik, dan trend setter fesyen yang inovatif. Sejalan dengan madonna, sosok biduan dangdut seperti Suci saharani, Mela berbie, Lina geboy, Mela Anjani, atau Ratna  antika juga hampir bisa dikatakan memiliki corak yang sama, bahkan dalam hal ini bisa dikatakan lebih menggebarak lagi ketika melibatkan penonton secara langsung di panggung.

Ritus saweran menjadi hal yang lumrah, sang biduan dengan politik goyangannya berhasil mendapatkan tambahan lembaran rupiah, meskipun lembaran-lembaran tersebut akan lebih banyak masuk ke kantong sang pemilik O.M (Orkes Musik) yang menaungi mereka. Kelelakian mengrubungi ia (sang biduan) entah sebagai penonton yang melontarkan kata-kata sedikit kotor atau sebagai nyawer yang dengan bebasnya dipanggung bergoyang dan menghujani biduan dengan lembaran uang.

Industri hiburan, baik dalam level pinggiran maupun kelas atas menyebabkan hukum permintaan dan penawaran menjadi satu-satunya pertimbangan logis namun instan.  Arus menuju komodifikasi tubuh menjadi semakin nyata. Eksploitasi tubuh perempuan! Mungkin ini menjadi komentar yang muncul. Komodifikasi menjadi  suatu bagian dari transformasi yang pada mulanya terbebas atau tidak berhubungan dengan hal-hal yang diperdagangkan, dan berubah menjadi hubungan yang sifatnya mencari keutungan, dengan berbagai pemanfaatn potensi yang ada, termasuk tubuh.

Melihat fenomena yang ada,  seorang biduanita terkesan meletakan prioritas tubuh menjadi hal yang utama jika dibandingkan suara. Bisa kita lihat bagaimana cara mereka berdandan dan bersuara genit yang “nyentrik” ketimbang ekplorasi kemampuan vokal. Tak pelak lagi bahwasanya dalam industri budaya tubuh perempuan menjadi ajang tarik menarik dan kontestasi banyak kepentingan. Tiada yang lebih kompleks daripada tubuh perempuan. Bagi perempuan sendiri, tubuhnya adalah daya tarik dan sekaligus sumber kekuasaan yang strategis. Kuasa atas pasar dan tentu saja kuasa bagi penontonnya. Dangdut, melalui biduanitanya menjadi daya tarik tersendiri melalui kualitas bagian tubuh perempuan yang menjadi modal dalam dunia pertunjukan.

Selain menyanyi dan berjoget, praktik nyawer semakin menguatkan bahwa penonton (laki-laki) semakin terhipnotis melalui perantara tubuh, raupan laba pun bertambah dari sektor nyawer.

Sensualitas, erotisme dan komodifikasi tubuh  adalah menjadi sebuah trend dan andalan dalam budaya massa, dan perlu dingat bahwa budaya massa adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari budaya industri. Peran kapitalisme di dalamnya  mengharuskan proses “pe-massa-an” atau komodifikasi segala sesuatu (termasuk tubuh), agar sebuah industri dapat terus berlangsung, bisa dibayangkan bagaimana sebuah industri-sebut saja- O.M Sanjaya, Sera atau Palapa tanpa biduanita, kemungkinan untuk ditinggalkan penonton pun akan lebih besar. Tak bisa disangkal bahwa penggunaan “tubuh perempuan” dalam pertunjukan dangdut bisa menjadi daya tarik guna melariskan suatu kelompok, dari sudut pandang tertentu tak lain dan tak bukan adalah sebuah bentuk komodifikasi tubuh.

Madonna dan para biduanita adalah contoh figur ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Madona mampu membius dan menggoda pengagumnya tidak hanya dengan suara dan wajahnya. Selain itu, Madonna dengan kepiawaian menggunakan media telah berhasil menjadikan dirinya sebagai “icon pop”. Dalam konteks ini Madonna berhasil menggunakan pendekatan ekonomi politik media dalam mengangkat popularitas bagi dirinya pada satu sisi dan sisi lain media menggunakan ‘icon pop’ sebagai komoditi media, begitu pula dengan para biduanita. Meskipun hanya dari panggung ke panggung, perayaan ke perayaan, dan VCD atau DVD pementasaan mereka di jual bebas di emperan tanpa royalti yang mengalir ke mereka.

Sedikit mengutip Anthony Synnott (2003 : 11) yang mengemukakan bahwa tubuh manusia dengan bagian-bagiannya dimuati dengan atribut kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik, ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial. Nah!

 

Ada Kamera antara Aku dan Kamu

Perempuan dan media fotografi sudah menjadi perbincangan yang cukup lawas.  Glyn Davis dalam exploring visual culture (2005) mengatakan bahwa Fotografi telah menyeruak dan menjadi sebuah gaya hidup. Bukan sekadar kemampuan merekam peristiwa atau yang diperistiwakan, namun dunia fotografi sudah merasuk dalam berbagai kepentingan, entah kepentingan bisnis ataupun hanya sekadar hobi.  Sebagai bagian dari budaya, fotografi  bersifat politis yang dimaknai secara mendalam sebagai ruang kontestasi lagi resistensi.        

Konstruktor foto (baca:fotografer) tak ubahnya seperti tukang-tukang insinyur yang tengah membangun jembatan penghubung antar dua wilayah (produsen-konsumen). Ia hadir dalam ruang budaya dan politik, dan secara nyata ia adalah bagian dari media yang berfungsi sebagai sarana penyaluran ide mengenai “politik konsep” untuk membangun identitas akan dirinya ataupun akan subjek yang dipotret.                                          

Membincang fotografi artinya menyeret segala penjuru isu kebudayaan ke dalam satu fragmen. Sebagai gaya hidup ia hadir bersama model-model, yang dalam hal ini saya rujuk ke dalam fotografi model yang menokohkan perempuan sebagai pesan.  Dalam fotografi model, perempuan adalah sebingkai tubuh yang mati namun resisten. Ia berada dalam bayang-bayang aturan kaum patriarki namun ia melawan melalui “tubuhnya”. Bagaimanapun juga, berbicara perempuan dalam serentetan bingkai foto kita tak akan bisa melepaskan dari wacana tubuh. Rumus Cantik=putih+langsing+berambut lurus adalah jaminan, atau seksi=lekuk tubuh+sorot mata+atraktif, rumus-rumus citraan yang demikian adalah ciptaan para konstruktor dalam memediakan mereka.               

Memutuskan diri untuk difoto itu artinya kita telah memberikan peluang kepada kenangan untuk mencatatnya. Bagi aktivis ruang virtual, ruang semacam facebook ini  menjadi salah satu cara bagi labuhan “hasrat” mereka. Tak jarang kita temui foto-foto perempuan –yang entah model atau hanya sekadar bergaya bak model- tak jarang mereka menampilkan pose-pose yang mengeksplor lekuk tubuh dengan tata gerak sensual yang “atraktif”. Hasil jepretan yang demikian diunggah demi mendapatkan respon atau hanya sekadar “berbagi” ilmu fotografi bagi si fotografer, yang jelas ruang tersebut telah termampatkan menjadi ruang kontestasi nilai kelelakian dan perempuan dalam sebuah frame foto. Kesensualitasan berada dalam dalih nilai art-tistik dan perempuan sebagai model pun merasa bersenang diri akan keberadaan “tubuhnya yang lain” (meminjam istilahnya barthes) dalam sebuah lembar foto yang mendulang respon akan pose-posenya.                        

Senyumnya mengembang kenes, jemarinya mulai beradu dengan papan ketik untuk membalas komen yang masuk, atau sekadar berucap “thx jempolnya”. Perempuan muda jelita tengah bersenang diri atas jepretan kawannya yang menurutnya bagus dalam membingkai tubuh dan merekam ekspresi wajahnya. Mungkin begitu yang terjadi. Saya sedang membayangkan bagaimana jika sosok Madonna hidup pada era sekarang?, saya menebak ia akan mengupload foto-fotonya yang seksi ke dalam akun Fb atau akun twiternya, Ia mungkin akan banyak menguploadnya ketimbang berstatus “alay”. Di sadari atau tidak foto tersebut telah menunjukan bahwa hubungan antara fotografer dengan objek telah menjadi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,  keberadaan keduanya saling mendukung untuk menghasilkan sebuah karya. Namun perlu kita sadari, bahwa dalam dunia fotografi sesungguhnya tengah terjadi ketidaksetaraan peran.                                                                    

Relasi yang terjalin antara fotografer dan objek berada dalam hubungan yang terikat  dan ketidaksetaraan itu muncul dalam praktik penciptaan karya foto. Dalam hal ini fotografer memiliki hak sepenuhnya untuk mengintervensi keadaan ataupun menyeleksi moment yang melintas. Dapat dikatakan bahwa fotografer adalah subjek bebas yang dapat memilih, menyeleksi, menempatkan realitas yang berada di hadapannya bahkan membentuk objek sehingga hanya dihasilkan satu pencitraan yang sesuai keinginannya. Dalam penciptaan foto, seorang fotografer mempunyai pengaruh kuasa yang besar kepada model yang sedang dihadapinya. Menjamurnya media telah turut memberikan ruang  (kenangan)  budaya perempuan dan laki-laki dengan korelasi ranah tontonan (visual) yang lugas, tanpa batas, dan tentu saja isu dalam hal relasi kuasa, gender, seks, dan seksualitas muncul didalamnya.                                                                                                    
Laura Mulvey dalam artikelnya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1974), mengungkapkan bahwa perempuan merupakan objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki sebagai objek imajinasi serta fantasi seksual atau sebagai objek “Sensual Pleasure” laki-laki. Hasrat dalam hal ini dapat diartikan dalam tatanan visual yang diharapkan dapat meningkatkan “cita rasa visual”. Maka tak jarang laki-laki memberikan komen yang beraroma orientasi lekuk tubuh. Hal tersebut diperkuat oleh Liesbet Van Zoonen dalam bukunya “Feminist Media Studies” (1994), Liesbet mengatakan bahwa elemen utama budaya patriarkal barat adalah display perempuan sebagai tontonan untuk dilihat, ditujukan untuk tatapan khalayak (pria).                        

Jika kita mengikuti akun yang kerap memasang foto –fotografis- model maka hal yang demikian menjadi semacam produksi kekuasaan tubuh, lalu produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana tentang keperempuanan yang “seksi” “langsing”, dan atraktif. Lantas, dalam fotografi (model) terutama dalam jejaring sosial, siapa yang sejatinya menguasai?pasar, model atau sang fotografer? Lagi-lagi pemetaaan hubungan kekuasaan didasarkan pada kepemilikan kapital dan komposisi kapital tersebut. Merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Bourdieu yang mencoba memetakan kapital menjadi empat jenis; kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial dan kapital simbolik. Dalam keempat kapital tersebut, kapital ekonomilah yang cenderung memiliki “kemampuan” untuk menjadi terminal bagi leburnya kapital-kapital yang lain. Kapital budaya, kapital sosial ataupun kapital simbolik yang melekat pada diri “fotografi” (fotografer dan modelnya) dalam suatu kesempatan akan melebur dan bertransformasi ke dlam kapital ekonomi.    

Dalam hitungan satu….dua…tiga….maka terbukalah diafragma lalu terlepaslah rana dan tak sampai satu detik tubuh dengan pose tertentu terproses dalam sebuah kamera. Tatapan tajam, bibir yang sedikit menor dan terbuka secara cepat tercerabut dari otentitasnya dan masuk dalam ruang baru dalam tubuh yang lain, tubuh yang tak lagi otentik karena keberadaan sebuah lensa kamera. Tubuh wanita adalah modal kapital dan juga bertumpukannya kode sosial yang dimiliki oleh wanita untuk dipasarkan dalam dunia ekonomi kapitalistik saat ini. Ketika The Mind and The Soul sudah tercerabut dari seorang perempuan, maka dia hanya mempunyai sebuah tubuh yang layak untuk dijual, dan “di pertontonkan”. Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, promosi, distribusi dan konsumsi kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan mengeksplorasi berbagai potensi hasrat dan libidonya untuk dipertukarkan sebagai komoditi ataupun nilai “jual” (Pilliang, 2004:116).                    

Teringat seorang Barthes, seorang semiolog yang necis asal perancis. Dalam “Camera Lucida” ia “bercerita”  ketika berhadapan dengan kamera, Barthes berpose. Ia membuat tubuh lain bagi dirinya, make another body. Menurutnya, akibat hal ini Ia menderita ketidakotentikan, karena diri dan citra-diri diceraikan oleh Fotografi. Ia merasa seperti menjadi hantu bagi dirinya sendiri. Bagi saya, tak ada foto yang dapat berbicara, sebagus apapun ia hanya benda mati, ia hanya selembar kenangan yang akan berjalan liar dalam alam interpretasi.

Seberkas Panopticon dalam Pas Foto

Seberapa jauh kepentingan pas foto seseorang?  Untuk urusan administrasi, pas foto adalah sebuah “wacana kepentingan” dalam artian kepentingan akan “visualisasi” kepemilikan. Ukuran sepertiga badan atas terekam tegak dengan serentetan aturan formasi visual yang harus dipatuhi. Misalnya saja, posisi tubuh tegap dengan posisi kepala lurus ke depan dengan daun telinga terlihat, selain kepentingan rekam wajah yang jelas dan formal, hal yang demikian menyangkut wacana legitimasi kepemilikan. Secara visual, wajah menjadi kekuatan formal seseorang. Tatar aturan visual yang lumrah hadir, bahkan semenjak awal berdirinya negara ini, pas foto sudah menjadi “syarat” mutlak dalam kelengkapan administrasi seseorang.

Sebagai produk visual, pas foto memang jauh dari kata estetis, ia berbentuk sesuai format “undang-undang”. Potret diri melalui pas foto adalah cara untuk menjadi bagian “kekuasaan” dan tentu saja menjadi bagian dari manusia modern. Selain itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan pas foto adalah produk pemerintah yang digunakan sebagai sebentuk “cara” kontrol sosial dan sebagai “pendisiplinan”  warga negara. Salah satunya terkait pas foto pada KTP seseorang. Semenjak jaman Belanda, “Verklaring van Ingezetenschap, voor personen in Nederlandsch Indie geboren” yang artinya, Kartu Tanda Penduduk untuk orang yang lahir di Hindia Belanda, sudah menjadi alat kontrol lagi “pengawasan”. Sesuatu yang menarik dan perlu diperbincangkan di sini dalah perihal pas foto baiik dari sudut pandang kajian budaya maupun fotografi.

Bukan semata aturan formal belaka, namun komposisi sebuah pas foto perlu disimak sebagai bagian dari anak kebudayaan visual. Dengan komposisi yang sederhana, pas foto telah mengguratkan isyarat “tata kelola” pendisplinan tubuh. Salah satu yang bisa kita simak adalah perihal warna background. Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Pasal 20 (1) berbunyi “Dalam KTP dimuat pas photo berwarna dari penduduk yang bersangkutan, dengan ketentuan : a. Penduduk yang lahir pada tahun ganjil, latar belakang pas photo berwarna merah; atau b. Penduduk yang lahir pada tahun genap, latar belakang pas photo berwarna biru. (2) Pas photo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berukuran 2 x 3 cm dengan ketentuan 70% tampak wajah dan dapat menggunakan jilbab”.

Dengan “terbitnya” pas foto, info personal seseorang dapat “terarsipkan”, baik secara hukum maupun secara sosial, dan  negara dalam hal ini tengah merekatkan ruang kuasanya.  Sebaliknya, masyarakat melalui pas foto secara tidak langsung mengakui kehadiran kekuasaan tersebut, dan tentu saja patuh terhadap aturan tersebut, dengan kata lain  menurut saya pas foto menjadi semacam simbol kepatuhan.

Wajah dalam selembar foto adalah persolan personal. Wajah dalam sebuah foto telah mencatatkan namanya sebagai bagian dari sejarah. Fotografer sebagai aparatus visual “bekerja” dalam rezim wacana tentang ketentuan-ketentuan yang telah ada. Kreatifitas adalah persoalan personal, secara institusional fotografer berada dalam payung aturan “instansi”. Tuntutan kreatifitas “tidak lagi” diperlukan, namun kepatuhanlah yang harus ia taati.

Pas foto dengan kelengkapan unsur-unsur formilnya adalah sebuah alat kontrol negara terhadap warganya, melalui warna background seperti telah diatur dalam undang undang, bahwa merah untuk tahun kelahiran genap dan biru untuk bertahun kelahiran ganjil. Gampangnya, pemahaman pembagian yang demikian ditujukan sebagai pendisiplinan sosial agar mudah untuk dideteksi perihal tahun kelahiran yang mengarah pada statistik. Sebagai bagian dari wacana kuasa, pemerintah hadir melalui perundang-undangan. “pendisplinan” publik melalui aturan pemerintah berjalan layaknya penjara panopticon. Panopticon adalah sebuah sistem “pendisiplinan”. Panopticon merupakan struktur yang memungkinkan “aparatus” untuk melakukan observasi secara menyeluruh dan berkelanjutan terhadap pihak-pihak tertentu, yang tentu saja memiliki posisi tidak lebih dominan.

Panopticon pada awalnya adalah konsep bangunan penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham pada tahun 1785. Konsep ini dirancang oleh Bentham yang memungkinkan seorang “sipir” untuk mengawasi (-opticon) semua (pan-) tahanan. Panopticon oleh Bentham dimaksudkan sebagai model penjara yang lebih murah dibandingkan penjara lain pada masanya, karena hanya membutuhkan sedikit staf, dengan menara ditengahnya.

Melalui lampu sorot yang berada di menara tersebut, maka gerak-gerik tahanan dapat diawasi. Tahanan tidak mengetahui siapa yang mengawasi dan berapa jumlahnya. Bahkan ketika tidak ada sipir penjara yang mengawasi-pun, tahanan merasa diawasi secara terus-menerus melalui menara tersebut. Dengan kata lain, pengawasan sipir penjara dapat berlangsung hanya beberapa kali saja tetapi efeknya terhadap narapidana bisa berlangsung secara terus-menerus. Menurut, Romo Moko, sapaan akrab Romo Haryatmoko, “Inilah maksud dari pengawasan yang diskontinu tetapi efeknya kontinu, Selain itu sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan, dalam bentuk apapun, karena yang dikuasai menginternalisasinya ke dalam alam bawah sadarnya”.

Selanjutnya, konsep panopticon berkembang ke arah  pengawasan dan pendisiplinan masyarakat. Dalam konsep ini, Kekuasaan menjadi sebuah tatapan tak berwajah (faceless gaze) yang akan terus mengawasi. Foucault menggunakan model panopticon untuk memeriksa relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam hampir seluruh bentuk institusi masyarakat modern. Baginya bentuk fisik bangunan tidak terlampau penting, karena yang utama adalah bagaimana kekuasaan menyebar luas dalam relasi-relasi sosial secara subtil, sehingga tidaklah mengherankan bahwa penjara-penjara sekarang makin mirip dengan pabrik, sekolah, barak militer, rumah sakit, yang semuanya juga memang mirip penjara (Foucault, 1995)

Saya melihat Pas Foto sebagai bentuk produk institusi yang dilahirkan dari praktik-praktik kuasa. Secara kontinyu, aturan perundang-undangan perihal pas foto telah merasuk dalam alam bawah sadar masyarakat. Mereka serasa “terhipnotis” untuk selalu patuh dalam aturan tersebut, sehingga jikalau menyeleweng sedikit ada rasa takut akan sanksi yang akan didapatnya. Baik sanksi dari instansi yang berkeperluan maupun sanksi berupa cemooh dari lingkungan karena warna keliru dalam menempatkan warna background. Dengan berlangsungnya pendisiplinan dalam masayarakat, pemerintah akan mendapatkan data yang mudah untuk diarsipkan, sehingga jika seaktu-waktu data diperlukan maka pelacakannyanya pun akan lebih mudah.

Sebagai bentuk kuasa atas informasi yang cenderung “dikuasai” oleh satu pihak (dominan) pas foto secara wajah juga memberi indikasi “kepatuhan”. Dalam sebuah pas foto, kita diharuskan berposisi tegak dengan telinga terlihat, dan berpenampilan rapi. Dengan pose wajah yang tersenyum datar. Ini adalah pose yang secara semiotis membawa pesan layaknyaa “tahanan” yang tengah terintervensi. Secara sadar “aktor” pas foto merasa dirinya akan menjadi “identitas” visual dari data-data yang di munculkan seperti nama, alamat, tanggal lahir, agama, hingga status perkawinan.

Fotografi adalah medium untuk menghadirkan sesuatu yang sahih dari ruang ke ruang maupun waktu ke waktu, ia secara nyata adalah sebuah representasi yang sahih terhadap keberadaan sepertiga bagian tubuh atas yang menghadap tegap ke kamera. Namun, pengakuan atas kesahihan tersebut perlu ditilik untuk dipertanyakan kembali. Sadarkah kita ketika berhadapan dengan seoarang fotografer dalam ruang bernama studio kita telah menjadi jiwa-jiwa yang lain. Hak atas tubuh telah “dirampas”, bahwa praktik memotret adalah suatu tindakan “intervensi”. Sedikit berlebihan memang, namun secara “nyata” jiwa-jiwa terpotret memang begitu adanya. Kuasa fotografer dalam lensa memberikan peluang yang mengharuskannya untuk  memilih dan “mengatur” objek. Dalam ekesekusinya, fotografer sebagai aparatus rezim wacana menjalankan tugasnya untuk menerapkan “aturan bentuk” yang menjadi bagian dari panopticon tersebut. Disadari atau tidak, demi kata formal, kita secara kontinu merasa diawasi oleh sistem. Ketakutan untuk tidak sesuai aturan membuat takut kan proses administrsai yang berbelit-belit.

Terakhir, bagi saya pas foto merupakan sebuah anak teknologi fotografi yang sederhana, namun di dalamnya penuh dengan kontestasi ideologi yang secara tak sadar dan tanpa menahu hadir secara diam-diam, pas foto juga memberikan sebuah kenangan tertentu, tergantung dimana ia berada, keberadaannya dalam KTP tentu saja akan berbedda ketika dia menempel dalam sebuah ijasah.  Bagi Barthes, sesederhana apapun sebuah foto, Ia seperti menghadirkan sebuah kebenaran, kebenaran akan sebuah kehadiran.