Archive | September 2013

Mar dan Episode Senja

Mar dan Episode Senja

Dokter muda itu terus menatapku tajam. Seolah-olah dia mengenal betul siapa aku. Baju putih dengan papan nama menempel di dada bagian kirinya mengatakan bahwa namanya, Mar. Entah Marisa, Mariana, Maria, atau Marijem, aku tak tahu pasti, yang jelas hanya tertulis Mar.

Ia terus menatapku tajam. Perlahan dia menghampiriku, tatap matanya semakin tajam. Bibirnya sedikit demi sediki terbuka untuk segera mengeluarkan kata-kata. Mataku terus tertuju pada bibirnya, menanti kata apa yang hendak ia katakan. Kata yang ku tunggu tak juga terucap, justru tanggannya yang lebih cepat menggapai tangganku. Ia mengajaku bersalaman.

Matanya masih menatapku begitu tajam, seperti ada memori yang terlalu pekat untuk ia luapkan tentang diriku. Begitu pula dengan alam pikirku yang terus menebak-nebak siapa dia. Seorang perempuan langsing, tinggi, dengan kulit bersih dan berambut panjang sedikit ikal. Aku bahkan sama sekali tak mengenalnya.

Dia terdiam, tatap matanya tak lagi tajam, seperti ada keteduhan yang ia dapatkan. Ia sedikit menunduk. Kemudian, ia kembali menatapku dan berkata, “kamu Daru, kan”? Sontak aku kaget, tahu darimana dia namaku. “ iya…” jawabku pendek, ada semacam pertanyaan yang ingin ku tanyakan, namun terlanjur terpotong dengan kalimat yang kembali ia ucapkan. “apa kamu ingat aku?” , beberapa detik aku berusaha berpikir untuk menjawabnya, dahiku mulai berkerut. Lalu dia melanjutkan, “ah kamu pasti lupa, ini aku Mar, ingat? “Mar?” begitu sahutku pendek, “iya, Mar” , begitu ia menimpali.

Mataku berusaha menggapai papan nama yang tertempel di dada bagian kirinya, ku tajamkan betul dan ku perhatikan secara seksama, siapa tahu ada keterangan yang bisa ku dapatkan dari namanya, setidaknya aku tahu nama lengkapnya, bukan sekadar Mar.

Dia masih menatapku, tangannya perlahan membolak-mbalikin daguku dan tangan satunya lagi berusaha memutarkan tubuhku. Hampir dua kali aku diputar mirip boneka manekin yang baru saja diberi pakaian dan dilihat kepantasannya. Aku makin bingung. Tampaknya, keyakinan yang sedari tadi terlihat dari sorot matanya perlahan redup. Perlahan samar menjadi sebuah keraguan.

Aku semakin heran ketika dia kemudian bertanya “apakah aku pernah mengenalmu, Daru? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tak ada jawaban yang kuberikan, aku hanya memperhatikan wajahnya yang lembut, tatapanku tertahan pada kedua katup bibirnya. Dan kepalaku perlahan menggeleng sambil berucap “entah”. Lalu kami berdua saling terdiam untuk beberapa saat. Mungkin dia tengah memanggil dan mengumpulkan segala sesuatu tentangku, begitu denganku.

Lalu gurat-gurat keceriaan mulai mengembang dari wajahnya, matanya bersinar penuh rona. Ia kembali bertanya dengan penuh keyakinan, “apa kamu suka memotret senja?” lalu akupun tersenyum dan ku jawab “iya..”. Dia sedikit menghela nafas, tampaknya ada sesuatu yang membuatnya lega. Pipinya seperti menyala dan bola matanya seperti tengah berdendang riang. Diantara sela-sela keceriaanya yang tiba-tiba muncul tersebut, kedua tangganya membetulkan posisi jas putihnya. Dia tersenyum, bibirnya mengembang. Namun seketika itu ada yang aneh dengan wajahnya, keceriaan yang baru saja ia tampkan mendadak berubah kecut, tapi tidak dengan bibirnya yang tetaplah manis. “aku ingat sekarang” begitu katanya. “oya?” begitu kataku lirih, ku pasang pendengaranku secara tajam lalu dia melanjutkan kalimatnya.

“Kita memang belum pernah bertemu, aku hanya mengenalmu lewat sebaris senja yang sering kau hadirkan bersama kata-kata. Yah.. aku mengenalmu melalui senja. Melalui senja yang sering kau sajikan hangat-hangat sebagai pengantar makan malamku.” Mar?